CERPEN ZUARMAN AHMAD

Menjejak Langit

Seni Budaya | Minggu, 07 Februari 2016 - 01:23 WIB

Aku masuk ke dalam istana itu. Kulihat seluruh ruangan bercahaya. Bau harum yang tiada pernah kuhirup selama hidupku. Seketika tujuh orang perempuan muda yang sangat cantik melebihi kedua orang perempuan yang membawaku dari lift keluar dari balik tabir, dan seorang perempuan menyuguhkan kepadaku segelas minuman dalam sebuah piala emas yang memancarkan cahaya. Aku mengambil gelas itu dan meminum airnya. Rasa hausku menjadi hilang dan aku bahkan merasa kenyang serta merasakan nikmat yang tiada dapat kuceritakan.

“Tidak semua orang dapat masuk dan merasakan kenikmatan tempat alam Menjejak Langit ini,” suatu suara tiba-tiba bersipongan ke seluruh ruangan.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

"Aku mengucapkan terimakasih kepada penguasa alam Menjejak Langit, yang telah membawaku ke sini. Aku ingin mengajukan pertanyaan. Untuk apakah Aku dibawa ke tempat ini?”

“Kamu dibawa ke tempat ini untuk membalas kebajikan yang pernah kamu lakukan”, suara penguasa alam Menjejak Langit, yang dari tadi belum pernah Aku lihat rupanya.

“Kebajikan apakah yang pernah Aku lakukan? Setahuku Aku berbuat sekedar apa yang harus Aku perbuat. Dan, setahuku Aku mempunyai banyak dosa yang Aku sendiri lupa berapa banyaknya,” kataku apa adanya.

“Kamu tiada perlu mengetahuinya. Tugasmu hanyalah menjalani hidup dan kehidupanmu seperti apa yang kamu katakan tadi, yakni apa yang harus aku perbuat,” kata suara tanpa rupa itu.

“Apakah Aku akan kembali ke tempat asalku, atau...?”

“Ya, kecuali kamu sudah sampai ke tempat yang abadi, kamu tidak dapat kembali lagi ke dunia asalmu.”

“Sekarang sudah saatnya kamu kembali ke dunia asalmu. Apakah permintaanmu?”

“Aku tidak meminta apa-apa,” jawabku sekenanya.

“Kamu menyimpan pertanyaan dalam hatimu. Katakanlah!”

“Semenjak Aku dibawa ke sini dan berbicara dengan Tuanku, aku belum melihat rupa Tuanku,” kataku akhirnya setelah aku tahu suara tanpa rupa itu mengetahui apa yang tersirat di dalam hatiku.

“Aku mempunyai perjanjian dengan diriku sendiri sampai suatu waktu. Apa yang tersirat dalam hatimu tentang Aku, itulah aku.”

“Siapakah Tuanku?” kataku lagi tidak menyia-nyiakan kesempatan.

“Aku adalah apa yang tergambar dalam hatimu, Aku adalah apa yang menurut sangkamu,” kata suara tanpa rupa itu singkat.

“Apakah kamu ingin berjalan-jalan dan melihat bangunan, taman, sungai, dan segala keindahan alam Menjejak Langit?” kata suara tanpa rupa itu.

“Setelah berjumpa dengan Tuanku, apakah Aku masih mempunyai keinginan dengan yang lain?” kataku seadanya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook