CERPEN ZUARMAN AHMAD

Menjejak Langit

Seni Budaya | Minggu, 07 Februari 2016 - 01:23 WIB

Hampir satu jam aku tertidur di lift. Ketika bangun aku tiada lagi  melihat kawan-kawan sesama musisi yang hendak naik ke lantai tujuh sebuah hotel tempat kami menginap di Kualalumpur. Ketika aku melihat tanda angka yang berwarna merah di dinding lift menunjukkan angka 6622, aku merasa terkejut. Seingatku hotel tempat kami menginap sementara di Kualalumpur sebelum melanjutkan perjalanan ke Tanjungmalim, hanya mempunyai sembilan tingkat.

Aku menekan tombol perintah nomor tujuh, tetapi tidak keluar angkanya, dan lift tidak menunjukkan akan turun ke lantai tujuh. Aku menekan tombol lift angka tujuh sekuat-kuat tenaga dan upaya namun tidak juga keluar angka tujuh itu. Aku mulai putus asa. Seperti hilang akal, baru aku ingat untuk menekan tombol yang bertuliskan bel sebagai tanda emergency. Tapi, setelah berkali-kali aku menekan tombol bertuliskan bel, tidak ada juga pertolongan dari pihak hotel. Aku mulai pasrah dan duduk di lantai lift karena mulai letih.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Sontak, aku melihat di dinding lift menunjukkan angka 6666, dan tiba-tiba lift mendadak berhenti. aku mulai was-was. Perasaanku tidak menentu dan ketakutan mulai menimpa diriku. Untung Aku mulai sadar dari perasaan ketakutan dan mulai membaca Ayat Kursi sebanyak mungkin. Aku tak mau menekan tombol perintah untuk membuka lift, karena aku tak mau menanggung risiko yang tidak terduga.

Setelah beberapa menit kemudian pintu lift terbuka dengan sendirinya. Aku melihat seberkas cahaya yang sangat terang masuk seperti hendak menelan lift tempatku berada. Aku mengira diriku akan hancur terbakar oleh cahaya yang sangat menyilaukan itu. “Sampailah ajalmu,” pikir hatiku. Namun, setelah cahaya itu membalut diriku, perasaanku menjadi tenang dan damai rasanya. Aku melihat dua orang perempuan yang tidak aku lukiskan kecantikannya diiringi dua orang lelaki sangat tampan berdiri di depan pintu lift. Mereka menyilakan diriku untuk keluar dari lift. Entah bagaimana, aku hanya menurut saja perintah dua orang perempuan yang tak terkira cantiknya itu dan dua orang lelaki sangat tampan itu. Aku keluar dari lift.

“Salam. Semoga Tuan selamat, dan selamat datang ke tempat Antara Impian dan Kenyataan”, ucap keempat orang yang menyambutku itu bersamaan, seperti lagu dengan nada yang sangat harmoni yang belum pernah aku dengar dalam chorus orkestra manapun.

“Alam Menjejak Langit?” pikir hatiku. Tempat apa pula ini, kata hatiku lagi. Aku mencubit lengan kiriku, namun terasa sakit. Berarti aku bukan dalam keadaan bermimpi, suara hatiku lagi.

“Tuan berada dalam alam nyata, bukan impian,” kata seorang perempuan yang memakai baju warna hijau lumut yang cantiknya tiada terlukiskan itu yang berdiri di sebelah kanan di antara mereka berempat itu. “Mereka mengetahui suara hatiku,” kataku lagi dalam hati.

“Aku mau dibawa ke mana?” ucapku kepada mereka berempat itu.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook