PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Kontribusi Ediruslan Pe Amanriza bagi sastra Riau, tak bisa dinafikan. Dia adalah salah satu novelis terporduktif di Riau. Hampir semua karyanya mendapat penghargaan tingkat nasional.
Tidak hanya tunak di bidang prosa, Ediruslan yang juga seorang wartawan dan politikus ini banyak menulis puisi. Beberapa puisinya yang terkenal antara lain "Berpisah Juga Kita Akhirnya, Jakarta...", "Riau", "Hijrah", "Surat, 11", "Lampu", dan sebagainya.
Puisi-puisi tersebut dibahas dalam diskusi di Rumah Suku Seni Riau, Pekanbaru, Sabtu (30/3/2019). Reky Arfal, penyair muda yang selama ini tunak Komunitas Paragraf dan Malam Puisi Pekanbaru, menjadi pemantik diskusi tersebut.
Menurut Reky, kekuatan puisi-puisi Ediruslan ada pada pengalamannya dalam melihat realitas Riau di masanya ke dalam bahasa puisi yang penuh metafor. Dalam puisi "Surat, 11" misalnya, kata Reky, Ediruslan membuat metafor tentang dua ekor burung yang mati di pagar rumah setelah saling patuk sehari suntuk berebut dahan tempat bersarang. Puisi itu sangat dalam maknanya.
"Saya berpikir, begitu halusnya Ediruslan menggambarkan bagaimana rakyat Riau yang harus saling berebut sesama mereka sendiri dan akhirnya mati. Padahal Riau sangat kaya akan sumber daya alam tapi masyarakatnya tak bisa menikmatinya karena sudah jadi rebutan siapa saja yang datang," ujar Reky.
Reky menyamakan dengan adagium tentang Riau sebagai ladang perburuan siapa pun, yang membuat orang-orang tempatan tak bisa menikmati kekayaan di tanahnya sendiri.
Di bagian lain, dalam diskusi, Marhalim Zaini menjelaskan bahwa Ediruslan merupakan prosais yang sangat kuat. Novel-novelnya hampir semua menjadi pemenang lomba, termasuk di Lomba Menulis Novel Dewan Kesenian Jakart (DKJ) sejak tahun 1970-an.
"Memang, ada kesulitan tersendiri bagi seseorang yang sering menulis tulisan panjang seperti prosa kemudian menulis puisi. Tetapi bagi Ediruslan, itu tak jadi masalah. Dia bisa membuat semuanya dengan baik," ujar Marhalim, sang Kepala Suku Seni Riau.
Menurutnya, kita bisa memahami siapa Ediruslan dari karya-karyanya. Di sana terlihat bagaimana idealisme Ediruslan yang selaras dalam kehidupan nyata, meski akhirnya terjun ke dunia politik. Banyak orang yang terjun ke dunia politik yang banal kemudian kehilangan idealismenya.
"Tapi Ediruslan tidak, dia tetap kukuh menulis dengan pilihannya. Dia terus ’melawan’ dengan karyanya," ujar Marhalim.
Novel-novel Ediruslan yang masuk kategori pemenang dalam Lomba Menulis Novel DKJ adalah Nahkoda (1977, hadiah harapan), Ke Langit (1978, hadiah perancang kreasi), Koyan (1979, hadiah harapan), Panggil Aku Sakai (1980, hadiah harapan), dan Dikalahkan Sang Sapurba (1998, juara II).
Hal ini memperlihatkan, selain jadi novelis terporduktif di Riau, Ediruslan juga seorang novelis produktif dan berkualitas dalam peta sasta Indonesia. Dalam sejarah sastra Indonesia, tak ada novelis yang setiap tahun dalam lima tahun berturut-turut masuk dalam daftar pemenang Lomba Menulis Novel DKJ.
Diskusi tentang Ediruslan ini diikuti 20-an peserta dari Suku Seni Riau maupun dari komunitas lain. Baik Reky maupun Marhalim berharap diskusi sastra seperti ini bisa terus diselenggarakan oleh berbagai lembaga atau komunitas.
Penulis/Editor: Hary B Koriun