Piring, gelas, mangkuk, dulang berukuran besar, tempat masak nasi, tepak tempat sirih, dan beberapa barang lainnya, juga masih terjaga baik. Hanya bangunan rumah tua itu yang sangat rapuh. Tiang dan dinding-dindingnya berlubang-lubang dimakan rayap. Beberapa bagian pintu dan jendela juga banyak yang hilang. Loteng teras dan ukiran-ukiran di sisi kanan kirinya juga semakin rusak.
Karena rumah tua ini merupakan peninggalan, Badriati berusaha menjaga dan menyelamatkannya sebisa mungkin. Barang-barang yang pernah dipakai unyangnya tersebut dibawa pulang, disimpan di rumah agar tidak hilang atau pecah. Karena, memang ada sebagian barang yang sudah hilang saat disimpan di rumah tersebut. Pesan yang tidak pernah dilupakannya adalah, agar barang-barang tersebut jangan pernah dipakai dan dirawat dengana baik.
RUMAH GODANG: Salah satu Rumah Godang di Cipang Kiri Hilir.
Rumah Godang di Desa Cipang Kiri Hilir juga disebut dengan rumah tua atau rumah tinggi. Rumah ini merupakan rumah suku, yakni milik Suku Pitopang dan Piliang. Unik memang, karena satu rumah milik dua suku. Bisa ada dua suku yang memiliki rumah ini karena suku yang perempuan tidak mempunyai anak lak-laki, tak mungkin tak punya tempat saat kembali. Akhirnya disepakati mereka semua pulang bersama-sama ke rumah ini dan jadilah rumah bersama.
Rumah godang ini dibuat awal abad 19. Revika Putra, keturunan keluarga dari suku Piliang, mengatakan, Datuknya lahir 1930 dan anak paling bungsu, sedang Datuk Lelo merupakan datuk paling tuo. Revika Putra merupakan generasi keempat dari yang punya rumah tersebut. Bersama saudara sesukunya, ia merawat dan memanfaatkan rumah tersebut hingga sekarang.
Masih utuh. Rumah godang ini masih berdiri kokoh, masih ditempati oleh para cucu. Bahkan acara-acara adat persukuan masih dilaksanakan di rumah ini seperti untuk menghitung bulan kapan Ramadan dimulai dan kapan Syawal datang. Pada saat ini, seluruh ninik mamak berkumpul mendengarkan imam (securing putih) yang didampingi khatib dan bilal menyampaikan pengumuman penentuan tanggal tersebut. Pemberitahuan oleh imam ini dilakukan dengan menggunakan sirih.
Mirip dengan bentuk Istana Rokan, begitulah arsitektur rumah godang tersebut. Ada teras di bagian dengan ruang tengah yang besar dan memanjang ke samping, serta dapur dengan pintu keluar di bagian belakang berada di sebelah kiri. Dinamakan juga dengan rumah tinggi karena bentuknya tinggi, sekiatar 1,5 meter. Bagian bawahnya sangat luas. Digunakan pula untuk penyimpanan barang seperti kayu dan papan.
Di bagian depan samping kanan rumah ada pondok atau gazebo dengan ukuran sedang, sekitar 6x6 meter. Bukan hanya untuk bersantai atau duduk-duduk menjelang petang atau sehabis siang, tapi digunakan juga untuk panggung pertunjukan musik tradisi seperti calempong saat pesta adat berlangsung. Sedangkan halaman rumah untuk kegiatan lainnya seperti tari piring atau tempat berkumpul saudara sesuku.
Rumah ini juga persis berada di tepi Sungai Mentawai yang sudah diturap lumayan panjang. Sebelum ada jalan darat, transportasi masyarakat hanya lewat jalur sungai. Turap inilah yang menjadi pelabuhan tempat naik dan turun penumpang dari desa-desa sekitar, termasuk dari Rokan. Dekat pula dengan pasar. Rumah ini merupakan satu-satunya rumah godang yang masih tersisa. ***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul