JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Makin tingginya gelombang penolakan pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) membuat pemerintah melunak. Jumat (20/9), Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memutuskan untuk menunda pengesahan RUU yang menuai kontroversi tersebut.
Jokowi mengatakan, dirinya telah mengikuti perkembangan pembahasan RUU KUHP secara seksama. Setelah mencermati masukan berbagai kalangan, dia menilai masih ada materi yang butuh pendalaman. "Saya perintahkan Menkum HAM untuk sampaikan sikap ini pada DPR. Yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda," ujarnya di Istana Kepresidenan, Bogor, Jumat (20/9).
Setidaknya, lanjut dia, ada 14 pasal yang masih perlu didalami. Namun, mantan Wali Kota Solo itu tidak merinci 14 pasal tersebut. "Nanti ini yang akan kami komunikasikan dengan DPR maupun masyarakat yang tidak setuju," imbuhnya.
Jokowi meminta agar RUU KUHP tidak dipaksakan disahkan pada DPR periode 2014-2019. Namun bisa di-carry over di periode selanjutnya. Di sisa waktu yang ada, dia memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk menjaring masukan masyarakat, khususnya yang tidak sepakat dengan pasal per pasal.
Kebijakan itu langsung direspons legislator. Ketua DPR Bambang Soesatyo menyampaikan, dirinya telah berkomunikasi dengan para pimpinan fraksi. Para pimpinan fraksi, kata dia, sepakat untuk mengkaji kembali pasal-pasal dalam RUU KUHP yang dianggap presiden perlu pendalaman. Dengan sikap presiden itu, tambah dia, rencana mengesahkan RUU KUHP pada Selasa pekan depan (24/9) akan ditunda. "Bukan dibatalkan lho. Tapi ditunda untuk pendalaman pasal-pasal," kata Bambang Soesatyo kemarin.
Bamsoet mengaku tidak tahu norma-norma yang menjadi catatan Presiden Jokowi. Namun, secara sepintas, tambah dia, ada beberapa pasal yang menjadi catatan. Yaitu, pasal-pasal terkait kumpul kebo, kebebasan pers, dan delik penghinaan terhadap presiden. "Saya kira itu yang menjadi catatan beliau. Dan akan kita selaraskan dengan panja (panitia kerja, red)," paparnya.
RUU KUHP memang mendapat perhatian luas. Selain publik dalam negeri, tekanan pihak luar sepertinya juga mempengaruhi dinamika pembahasan RUU tersebut. Salah satunya terkait dengan pasal yang menyangkut LGBT. Bamsoet mengakui, pasal tersebut menjadi perhatian pihak asing. Terutama dari negara-negara Eropa. Beberapa waktu lalu, tutur dia, beberapa aktivis dari Eropa berkunjung ke DPR. Mereka menanyakan langsung pasal-pasal yang terkait erat dengan LGBT.
"Ketika kita masuk dalam pasal-pasal itu, mereka menentang keras. Jadi itulah yang saya bisa katakan," ungkap politikus Golkar itu.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyayangkan penundaan pengesahan RUU KUHP. Dia bilang, pembahasan RUU tersebut sudah melalui proses panjang. Karena itu, ketika DPR dan pemerintah sepakat dalam pengambilan keputusan Rabu lalu (18/9), tahapannya tinggal disampaikan dalam rapat paripurna yang diagendakan Selasa depan. "Bayangkan, seratus tahun lebih kita pakai KUHP tinggalan Belanda. KUHP itu sudah tidak dipakai lagi di negara asalnya. Kok kita masih mempertahankannya menjadi induk hukum pidana di Indonesia," kata Fahri.
Menurut dia, jika ingin menunda pengesahan RUU KUHP, Presiden harus menggelar rapat konsultasi dengan DPR. ’’Sebelum memutuskan untuk ditunda, sebaiknya presiden rapat dulu dengan DPR,” imbuhnya. Menurut dia, Presiden Jokowi belum memahami maksud RUU KUHP tersebut. DPR dan pemerintah, kata dia, bermaksud melakukan kodifikasi UU melalui RUU KUHP. (far/mar/syn/oni/jpg)