Berdua, rencana dirancang. Empat orang anak dari desa tersebut disekolahkan keluar. Nyantri di beberapa pondok pesantren mulai dari Ponorogo, Kudus hingga Pekanbaru. Diproyeksikan, enam tahun ke depan mereka tamat sekolah dan bisa kembali mengabdikan diri di kampungnya mengajar. Rencana ini sendiri, terealisasi lebih cepat dari harapan mereka. UAS muncul sebagai katalis yang mempercepat hal ini terwujud.
Dimulai dari datangnya Reza ke kelas internasional yang diajar UAS, berawal dari meminta buku untuk pustaka, UAS kemudian datang ke Desa Rantau Langsat untuk pertama kali 2016 bertemu langsung dengan anak-anak suku Talang Mamak. Dari pertemuan itu, dia mendorong dibentuknya yayasan untuk mengasuh pendidikan lanjutan bagi mereka. Dan kini, tahun 2018, pondok resmi beroperasi dengan angkatan pertama santri berjumlah 18 orang.
Pak Tatung menyambut UAS dalam peresmian pondok dengan menampilkan keahliannya bermain gambus. Keahlian ini yang saat pertemuan awal antara dirinya dengan Reza dijadikan Reza sebagai cara untuk mengenal Pak Tatung lebih jauh. Petikan gambus beriring bait tentang perjuangan warga desa dilantunkan. Tepuk tangan ramai terdengar. UAS tersenyum.
Hubungan warga di Desa Rantau Langsat dan UAS terlihat sudah terbina cukup akrab. Pak Tatung tanpa sungkan menyampaikan kesan warga setelah UAS berulang kali ke sana. UAS di mata masyarakat disambut dengan penuh hormat. Karena, sejak pertama kali datang dia mau memosisikan diri sama dan menjadi bagian dari masyarakat. Bukan sebagai orang yang berpendidikan tinggi.
’’Kami menyambut bapak dengan segala kehormatan dan kasih sayang. Selama ini banyak LSM yang datang dengan berbagai modus mau membina tapi secara orang berpendidikan. Kami di sini masih bodoh Pak, sekolah kami tidak tinggi. Cara mereka tidak membekas di hati masyarakat,’’ imbuhnya.
Bisa memiliki lembaga pendidikan lanjutan yang dituju anak-anak untuk bersekolah di Desa Rantau Langsat adalah asa yang tak pernah pupus. Ini juga harap dalam doa yang dipanjatkan.
’’Saya kasihan sekali dengan anak-anak saya yang tidak sekolah, yang putus sekolah. Sekarang dalam doa kami, sambil menakik kami berdoa, sambil menyelam kami berdoa. Rupanya Allah mengirim hambanya yang mau membina. Kami di sini ada tiga suku yang centang prenang pendidikannya. Doa kami terkabul, dengan hadirnya pondok Bustanul Hikam,’’ ucapnya haru.
Pondok Bustanul Hikam hadir sebagai representasi pendidikan yang lebih baik. Jika di SD kelas jauh yang diasuh Pak Tatung murid belajar pada bangku sekolah yang reot, maka di pondok ini bangunan yang cukup layak bisa dinikmati. Pak Tatung menyebut, awal ide pondok berdiri disampaikan oleh Reza. Di Rantau Langsat, warga dan tetua kampung terus berdoa agar tawaran itu bisa menjadi nyata.
Meski berwujud pesantren, Pondok Bustanul Hikam terbuka bagi siapa saja yang mau belajar dan menuntut ilmu, tanpa membedakan suku dan agama. Di sinilah pondok seolah menjadi rupa perekat NKRI di tengah rimba dengan segala keterbatasannya. Ini dipastikan sendiri oleh Pak Tatung.