JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa melaksanakan Salat Id di rumah tidak akan mengurangi kualitas kesunnahan. Hal ini direkomendasikan terutama di daerah-daerah yang penyebaran Covid-19 nya belum terkendali.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh mengungkapkan bahwa hukum asal Salat Id adalah sunnah muakkad yang sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap muslim di manapun. Termasuk mereka yang sedang dalam perjalanan atau di rumah sakit.
Ni’am menyebut bahwa pelaksanaan secara berjamaah di rumah sebenarnya sama derajatnya dengan dilaksanakan secara berjamaah di masjid. "Untuk tempatnya, bisa dilakukan di masjid, musala, lapangan atau rumah. Di rumah ini hukum asal ya. Bukan dispensasi," kata Ni’ám, Senin (18/5).
Salat Id boleh dilakukan pada suatu daerah dengan dua syarat. Yang pertama harus dipastikan bahwa penularan Covid-19 pada 1 Syawal di daerah itu sudah dipastikan terkendali. Ini ditunjukkan dengan indikasi bahwa angka penularan sudah menunjukkan kecenderungan menurun. Kemudian sudah ada keputusan pemerintah setempat soal kelonggaran aktivitas sosial yang mengharuskan terjadinya kerumunan.
"Ini harus diputuskan berdasarkan ototritas yang punya kompetensi dan kredibilitas. Otoritas di bidang epidemologi amanah. Kompeten dan kredibel," katanya.
Kondisi kedua adalah di daerah-daerah yang terpencil, desa-desa maupun kawasan kepulauan yang terisolasi. Serta di kawasan perumahan homogen di mana tidak terdeteksi adanya infeksi Covid-19 juga relatif sepi dari lalu lalang dan mobilitas orang masuk dan keluar wilayah tersebut.
"Tapi tetap saja bagaimanapun harus memperhatikan protokol kesehatan. Antara lain dengan memperpendek bacaan salat dan waktu pelaksanaan salatnya," katanya.
Sementara untuk malam Idulfitri, MUI tetap merekomendasikan agar masyarakat menghidupkan malam tersebut dengan takbir tahlil dan tahmid. Selain itu, menurut Fatwa MUI Nomor 23 Tahun 2020, yang mengatur tentang pemanfaatan zakat, infak dan sedekah. Bantuan zakat baik mal maupun fitrah bisa diarahkan untuk membantu mereka yang berjuang menghadapi Covid-19 di garis depan. Bisa pada tenaga kesehatan maupun relawan kemanusiaan.
Menurut Asrorun, zakat boleh dimanfaatkan untuk kepentingan penanggulangan pandemi COVID-19, mengingat salah satu dampak serius yang juga memerlukan penanganan selain aspek kesehatan, yakni aspek ekonomi.
"Oleh karena itu Komisi Fatwa MUI menegaskan, bahwa zakat boleh dimanfaatkan untuk kepentingan penanggulangan wabah Covid-19, dan dampaknya, dengan ketentuan-ketentuan tentunya," jelas Asrorun.
Asrorun menjelaskan, jika didistribusikan untuk kepentingan penerima zakat secara langsung, maka penerima adalah merupakan salah satu di antara 8 golongan yang berhak menerima zakat atau asnaf, yang sudah ditetapkan, yaitu muslim yang fakir, miskin, Amil, mualaf, yang terlilit hutang, kemudian perbudakan, memerdekakan budak, Ibnu Sabil, dan atau fisabilillah,” imbuh Asrorun.
Kemudian Asroun juga menjelaskan bawah distribusi zakat dapat digunakan untuk kepentingan modal kerja, atau berbentuk uang tunai, berbentuk makanan pokok, keperluan pengobatan, atau hal yang sangat dibutuhkan oleh mustahik. Bahkan dalam hal ini, pemanfaatan harta zakat juga boleh bersifat produktif, seperti untuk kepentingan stimulasi kegiatan ekonomi fakir miskin yang terdampak wabah. Selanjutnya, apabila didistribusi untuk kepentingan kemaslahatan umum, maka hal itu dimungkinkan dengan mengambil salah satu di antara 8 golongan yang berhak menerima zakat atau asnaf.(jpg)