KUANSING (RIAUPOS.CO) -- Salah satu masjid tertua di Kabupaten Kuantan Singingi adalah Masjid Jamik Koto Tinggi Pangean. Konon, masjid yang dibangun sekitar 1013 Masehi ini telah dipugar pada 1932 Masehi.
Setiap bangunan masjid ini punya makna yang merupakan cerminan atau perpaduan adat dengan agama Islam. Ya, bangunannya pun mencerminkan struktur adat-istiadat yang ada di Nagori Pangean. Bangunan atapnya terdiri dari lima jenjang. Hal ini merupakan cerminan rukun Islam. Jumlah pintunya ada 33 yang mengelilingi masjid. Ini mencerminkan 33 kali umat Islam berzikir, bertasbih dan bertahmid untuk mengingat Sang Pencipta.
Beranjak ke dalam, terdapat tiang yang paling besar berdiri di tengah alias tiang mocu. Tiang ini bila coba dilingkari dengan ukuran tangan orang dewasa, setiap tangan tidak bisa menyatu. Sedangkan tiang mocu ini dipagari oleh empat tiang yang ukurannya masing-masing sama, tetapi lebih kecil dari tiang mocu.
Konon, tiang masjid ini didirikan dengan menggunakan bantuan makhluk ghaib tentunya atas izin Allah SWT. Di sekeliling masjid ini terdapat makam para imam dan penyiar agama Islam di Pangean sejak negeri ini ada.
Tiang mocu yang berdiri di tengah masjid yang dikelilingi empat tiang yang ukurannya lebih kecil, merupakan cerminan adat-istiadat yang ada di Kenegerian Pangean. Maksudnya, tiang mocu adalah cerminan dari Datuak Tongah yang merupakan orang besar di dalam adat atau tempat bertanya Pangulu Nen Barompek tentang adat istiadat yang istilah adatnya adalah talago adat.
Empat tiang di sekelilingnya yang sama besar, tetapi ukurannya lebih kecil dari tiang mocu, maknanya adalah cerminan Pangulu Nen Barompek yang ada di Nagori Pangean yang terdiri dari empat Pangulu. Masing-masing, Pangulu yang bergelar Datuak Pakomo dari Suku Camin, Datuak Topo dari Suku Melayu, Datuak Gindo Parkaso dari Suku Paliang dan Datuak Maruangso dari Suku Mandahiliang.
Dalam adat Pangean, selain Datuak Tongah sebagai Talago Adat, ada juga Siak Pokiah sebagai Talago Syarak atau tempat bertanya Pangulu mengenai agama atau istilah adat, “Talago Sarak”. Cerminan dari Siak Pokiah di dalam mesjid ini, terdapat di Mihrab atau Mimbar, yang diketahui telah ada sejak tahun 1013 M.
Di atas sebelum loteng, satu tiang mocu dan empat tiang turut mengelilingi tiang mocu yang berdiri di tengah masjid, bermaksud agar bangunan masjid ini berdiri tegak dan kokoh, lima tiang ini disanggah dengan kayu sebanyak 16 penyanggah yang satu sama lain saling menguatkan.
16 penyanggah antara tiang yang satu dangan tiang yang lainnya inilah merupakan cerminan orang adat sebagai tempat berunding pangulu di masing-masing suku, yang apabila dijumlahkan, itu jumlahnya ada 16 orang sebagai pemangku adat.
“Dengan adanya masjid ini, masyarakat Pangean di mana pun akan selalu merindukannya. Apakah itu untuk sholat, atau untuk melaksanakan aktivitas ibadah lainnya. Inilah kebesaran Pangean yang memiliki simbol pemersatu anak cucuk kemenakan,” kata Pangulu dari Suku Mandahiliag, Suwerman yang bergelar Datuak Maruangso, baru-baru ini.
Masjid ini, katanya, dikelolah oleh Pangulu Nen Barompek Nagori Pangean, masing-masing Suku Paliang, Melayu, Camin, dan Mandahiliang. Lalu, secara turun temurun di mesjid ini imam besar selalu dijabat oleh Suku Paliang. Pasalnya, suku ini merupakan talago sarak.
“Alhamdulillah, masjid tua ini dari dahulu hingga sekarang mampu menjadi pemersatu bagi masyarakat Pangean, baik yang berada di kampung halaman maupun yang berada di perantauan,” ujarnya lagi.
Editor: Eko Faizin