Menyusul kemudian Pemilukada serentak, 21 Juni 2018 dikuti 171 daerah. Parpol mengemas mengeluarkan dukungan berpedoman hasil survei. Survei sama dengan kajian akademik sebagai syarat untuk membahas produk perda.
Sehingga benar bahwa Pemilukada serentak akan menjadi musim panen bagi lembaga survei dan konsultan politik, karena pada saat itu lembaga survei akan kebanjiran order dari partai politik maupun calon kepala daerah setiap jelang Pemilukada.
Selama lembaga survei itu mengedepankan metode keilmuannya dalam mengungkap data dan fakta tanpa direkayasa, maka itu tidak menjadi masalah dan sangat diperlukan. Persoalannya kemudian dalam perkembangannya tidak sedikit data ditemukan lembaga survei menjadikan Pemilukada sebagai ladang bisnis yang menjanjikan keuntungan menggiurkan dengan mengabaikan metode keilmuannya atas nama kapital.
Keberadaan lembaga survei semakin menarik dibisniskan karena konsumennya bukan hanya datang dari partai politik dan kandidat, tetapi juga para pengusaha lokal maupun pengusaha nasional yang membidik kekayaan alam di daerah itu. Partai politik memerlukan survei untuk mengetahui tingkat elektabilitas calon yang ingin didukung.
Kandidat pemimpin sendiri sangat membutuhkan lembaga survei untuk mengetahui peluangnya memenangkan pertarungan dalam Pemilukada. Sementara pengusaha memerlukan lembaga survei untuk mengetahui kemana modalnya harus dikucurkan untuk membantu pemenangan dengan harapan bisa mengendalikan proyek setelah kandidat yang didukungnya menjadi pemenang.
Menjadikan lembaga survei sebagai ladang bisnis mengeruk keuntungan merupakan suatu kesalahan fatal dan tak terpuji karena berbanding terbalik dengan proses demokratisasi itu sendiri. Demokrasi membutuhkan lembaga survei untuk memberikan pendidikan politik terhadap publik melalui penelitian yang obyektif. Namun akhir-akhir ini justru yang terjadi sebaliknya karena dijadikan ladang bisnis.
Akibat hadirnya lembaga-lembaga survei yang bisa dibisniskan, semakin membuat masyarakat tidak percaya terhadap kredibilitas lembaga survei. Karena nalarnya sudah untung rugi, maka lembaga survei jenis ini baru bergerak kalau jelas hitung-hitungannya. Berapa keuntungan yang bisa diambil dari survei itu. Apalagi lembaga ini dijamin tanpa risiko, jika hasil survei benar tambah tenar pun jika salah dianggap lumrah.
Karena itu, keresahan di masyarakat terhadap hasil-hasil survei dan quick count juga tidak bisa dianggap sepele, karena bisa jadi kondisi kebingungan hasil survei ini membuat masyarakat menjadi apatis dan memilih golput, bahkan mendorong perilaku pragmatis. Jadi di tengah perkembangan demokrasi, lembaga survei harus berada pada jalur yang terkontrol agar hadirnya justru tidak merusak tatanan demokrasi.***