Oleh: Bagus Santoso, Mahasiswa S3 Ilmu Politik, Praktisi Politik dan Anggota DPRD Riau
DIREKTUR Indonesia Network Election Survei (INES) Oscar Vitriano merilis elektabilitas calon Presiden 2019 yang selama ini kuat diperbincangkan publik. Hasil survei menunjukkan, Prabowo Subianto lebih banyak dipilih dari petahana Jokowi. Dari hasil survei, jika dilakukan Pemilu hari ini, maka presiden yang akan dipilih adalah Prabowo. Prabowo mengantongi 50,2 persen suara, sedangkan Jokowi 27,7 persen suara.
Dalam bulan yang sama Direktur Ekskutif Indikator Politik Burhanudin Muhtadi merilis hasil survei bertolak belakang ‘’seribu’’ derajat dengan INES. Survei versi Indikator Politik Jokowi unggul telak jika Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Secara head to head Jokowi memperoleh 60 persen, sedangkan Prabowo hanya 29 persen.
Begitulah publik selalu dicekoki hasil survei berbeda-beda dan parahnya lagi sudah menular sampai ke daerah. Contoh di depan mata lihat saja survei terkait 4 pasangan calon Gubernur Riau setiap saat dengan mudahnya berubah-ubah, terkesan hasil survei sebagai barang pesanan yang bisa memuaskan selera pemesan.
Fenomena pascareformasi, lembaga survei politik bayak bermunculan menawarkan jasanya dalam meramaikan perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini disebabkan, karena perkembangan demokrasi berbanding lurus dengan keberadaan lembaga survei politik.
Itulah sebabnya disebut survei dan demokrasi memiliki hubungan simbiosis mutualistik. Rezim politik demokratis sangat membutuhkan survei dalam memahami aspirasi publik untuk kepentingan proses pengambilan kebijakan. Sementara parameter responsiveness (tanggap atas aspirasi) dan partisipasi warga merupakan pondasi demokrasi yang sangat mungkin tersalurkan melalui mekanisme sistematik bernama survei.
Akibatnya kemunculan lembaga survei di Indonesia satu dasa warsa terakhir ini sangat tinggi. Peran lembaga survei ini semakin memuncak ketika musim Pemilukada serentak sejak gelombang pertama 21 Februari 2015 yang diikuti 268 daerah.