“Ke depan, kami minta perhatian pemerintah dalam hal membenahi lokasi. Kami melihat, lokasi dan tempat masyarakat menonton terbatas, sehingga jalanan menjadi macet. Kalaulah lahan yang di sepanjang sungai tersebut bisa dibuatkan untuk masyarakat, maka prosesi Parahu Baganduang akan terlihat lebih semarak. Mereka tidak lagi memanfaatkan jembatan untuk menonton,” kata Deprian.
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuansing Marwan SPd MM melalui Sekretaris Fakhri Edi SPd MS mengatakan, atraksi Parahu Baganduang sudah didaftarkan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaam Republik Indonesia.
“Iya, menurut Pak Kadis, kita sekarang sedang menunggu sertifikat Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Kemendikbud tentang Parahu Baganduang. Masyarakat harus ikut berpartisipasi dengan cara mendukung semua bentuk program Pemkab Kuansing. Seperti yang disampaikan Pak Bupati saat kita menang dalam ajang API Pacu Jalur tahun lalu. Nah, sekarang saatnya Parahu Baganduang kita dukung dengan cara ketik API 8D kirim ke 99386,” ujar Fakhri.
Lebih Meriah dari Idulfitri
Masyarakat Bangkinang bersiap menyambut salah satu momen Hari Raya Enam yang paling meriah yang pernah dilakukan. Pasalnya, perayaan hari raya puasa enam hari setelah 1 Syawal ini. Sangat berdekatan dengan Pemilihan Gubernur Riau (Pilgubri) yang juga akan dilaksanakan pada bulan ini juga. Sejumlah tokoh, menurut sejumlah warga akan memanfaatkan momen ini untuk menyerap dukungan.
Namun terlepas dari itu, masyarakat sepertinya tidak begitu menghiraukan ‘’tebengan’’ pemilu pada Hari Raya Enam. Berbagai persiapan sudah terlihat sejak Rabu (20/6). Berbagai masakan tradisional seperti lemang dan lainnya sudah mulai akan dimasak. Kendati perayaannya hanya sehari, namun momen Hari Raya Enam begitu besar maknanya bagi warga Bangkinang.
Pasalnya, sejumlah ritual akan dilaksanakan dalam sehari itu yang dimulai dari pagi hari dengan ziarah kubur. Bukan ziarah kubur biasa, namun ziarah kubur Hari Raya Enam ini selalu dilakukan berkelompok dan dengan grup-grup besar. Bahkan menurut salah seorang warga, Muslim, jumlah dalam satu kelompok atau grup bisa mencapai ratusan orang. Jumlah itu tergantung seberapa besar keluarga dan kekerabatan yang datang atau balik kampung. Jumlah itu ditentukan pula oleh siapa yang bakal yang hadir.
Sebagai gambaran perayaan Hari Raya Enam pada tahun lalu, sejumlah desa di Bangkinang seberang seperti Binuang, Cubadak, Kampung Godang dan pusatnya di Muara Uwai, sangat ramai. Bahkan ada juga masyarakat yang datang menyeberang dari Pulau Langgini yang berada di pesisir Bangkinang Kota dan warga Bangkinang Kota itu sendiri. Adat kebiasaan perayaan ini, masyarakat biasanya menggelar “makan bajambau” yang mengambil tempat di salah satu masjid sebagai penutup perayaan.
Jadi ketika ritual ziarah kubur, doa bersama, bersilaturahmi, maka Hari Raya Enam akan ditutup dengan “makan bajambau” pada siang harinya. Makanan ini biasanya dipersiapkan kaum ibu yang dibawa ke masjid terdekat dengan lokasi ziarah. Saat “makan bajambau” inilah biasanya silaturahmi anak kemanakan, warga, sesepuh adat dan tokoh agama terjalin. Usai makan, kadang mereka juga tidak langsung pulang. Karena tidak sedikit yang menyudahinya dengan Salat Zuhur berjamaah.