Saat mengisahkan sejarah hidup sebagai seorang anak dari Wali Kota Dumai pertama Drs Wan Dahlan Ibrahim, mimik wajah H Wan Adi Surya Herlambang tampak berseri dengan mata berkaca-kaca saat memutar ulang memori puluhan tahun silam.
Pria 54 tahun ini terkenang dengan perjuangan dan kontribusi orang tuanya yang mendapat kepercayaan pemerintah memimpin pembangunan Dumai mulai tahun 1979. Awalnya, Dumai hanya sebuah kampung nelayan kecil terpencil. Transportasi ke atau dari daerah lain saat itu masih sangat sulit, hanya bisa melalui jalur air.
Wan Adi Surya yang kini masih aktif sebagai aparatur sipil negara di lingkungan Pemerintah Kota Dumai mengakui perkembangan daerahnya mulai berdenyut setelah PT Caltex Pacifik Indonesia (PT CPI) menginjakkan kaki ke tanah melayu tersebut. Berbagai bantuan dan sumbangsih perusahaan minyak ini memiliki andil besar membangun Kota Dumai.
Dikutip dari Antara.com, semasa menjadi pejabat daerah, Wali Kota Wan Dahlan Ibrahim terus mendorong partisipasi Caltex membantu penyediaan kebutuhan masyarakat dan mengembangkan sumber daya manusia lewat program pendidikan.
Adi Surya menilai Caltex sangat fokus memperhatikan sektor pendidikan dan keperluaan hajat hidup orang banyak, dengan membangun sekolah dasar di Jalan Sultan Sarif Kasim atau sering disebut Laboroseng, pasar tradisional di Jalan Jenderal Sudirman, tangki air bersih atau disebut Tangki Jepang di Jalan Pattimura dan Jenderal Sudirman.
"Sekolah dasar yang sampai detik ini masih kokoh berdiri di Laboroseng yang membangun Caltex. Begitu juga tangki tabung air di Jalan Pattimura dan (Jalan) Sudirman yang telah banyak membantu kebutuhan air masyarakat," tutur Adi Surya, yang merupakan putra kedua pasangan Wan Dahlan Ibrahim dan Hj Gustiah ini.
Pembangunan Dumai mulai pesat sejak tahun 1960, dan tidak sedikit peran Caltex di dalamnya. Bantuan tangki tabung air diberikan Caltex pada tahun 1979. Hingga kini nama Laboroseng dan Tangki Jepang masih lekat di telinga masyarakat untuk penyebutan nama kedua kawasan itu.
Selanjutnya, menurut Adi Surya, PT. Caltex Pacific Indonesia, yang kini berganti nama menjadi PT. Chevron Pacific Indonesia, juga berkontribusi kepada pemerintah daerah dengan mendukung pembangunan kantor walikota lama di Jalan HR Soebrantas.
Salah satu kontribusi terbesar Caltex bagi Kota Dumai adalah membuka jalan akses transportasi darat, yang awal digunakan untuk kepentingan operasi migas. Jalan ini kemudian menjadi jalan umum pertama di Dumai, yang memungkinkan masyarakat menggunakan jalur darat untuk bepergian ke luar daerah.
Sebelumnya, perjalanan dari Dumai ke Pekanbaru hanya dapat dilalui melalui jalur air selama lebih dari satu hari dengan menggunakan kapal pompong menyusuri Selat Rupat, lalu berbelok kanan memasuki Sungai Siak.
Cikal Bakal Dumai
Cikal bakal Kota Dumai berawal dari sebuah kecamatan di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Kota Dumai mulai berdenyut sejak PT. Caltex Pacific Indonesia (PT CPI) mulai membangun dermaga minyak, yang pada 15 Juli 1958 diresmikan Menteri Perindustrian Ir FJ Ingkiriwang.
Dermaga minyak Caltex dibangun berbentuk huruf T, dengan luasan 80 x 8,5 meter, dan termasuk lima pelabuhan terbesar di dunia pada era 1950an. Sejak itulah awal perkembangan pelabuhan Dumai bermula, sekaligus dimulainya perjalanan Dumai sebagai sebuah kota.
Bagi Caltex sendiri, pembukaan dermaga Dumai merupakan pemecahan masalah penting untuk pengangkutan minyak mentah dari pedalaman Riau ke pasar dunia. Saat itu, jaringan pipa Duri-Dumai milik Caltex mulai mengalirkan minyak dari Lapangan Minas. Sebelumnya, minyak tersebut harus diangkut dengan kapal dari Perawang Siak melalui Sungai Pakning menuju Dumai.
Pada 1940-1941, ketika minyak pertama kali ditemukan di daerah Sebanga dan Duri, sejumlah tenaga penyelidik dan juru ukur mulai mempelajari kemungkinan membangun jaringan jalan dan pipa menembus hutan dari Duri ke tempat terdekat untuk mengapalkan minyak di pantai timur pulau Sumatra.
Ketika pecah Perang Dunia II, rencana ini gagal terlaksana. Di masa perang, tempat ini ramai kedatangan pekerja romusha yang diangkut tentara Jepang dari Jawa. Pasca perang, banyak di antara mereka yang memilih menetap dan membuka hutan untuk dijadikan kebun.
Menyulap Hutan dan Rawa
Pada 1953 atau setahun sesudah minyak Minas mulai berproduksi melalui pipa minyak ke Perawang, ahli Geologi Caltex kembali melakukan pengeboran lanjutan di lapangan minyak Duri yang sudah delapan tahun terbengkalai. Tiga tahun kemudian, sebuah proyek pengembangan migas raksasa, yang disebut sebagai Proyek Rencana Perluasan mulai dilaksanakan.
Program rencana perluasan Kota Dumai oleh PT CPI diberi nama Rencana Dumai 1956. Salah satu proyek pembangunan adalah dermaga minyak yang dapat memindahkan 33.000 barel minyak per jam ke kapal tangki.
Pengembangan berikutnya meliputi pembangunan perkampungan modern dan pelabuhan samudra yang dapat dimasuki kapal tangki minyak besar, gedung perkantoran, tangki penyimpanan minyak, gedung sekolah, balai peristirahatan buruh, lapangan olahraga, dan lapangan terbang yang sekarang menjadi Bandara Pinang Kampai.
Selanjutnya menyusul pembangunan jalan raya Duri-Dumai sepanjang 57 km yang terhubung dengan jalan raya Rumbai - Duri. Masyarakat dari berbagai pelosok mulai datang ke Riau untuk mengadu nasib. Dengan perjalanan dari dan ke Pekanbaru yang hanya memakan waktu lima jam jalan darat, Dumai mulai berdetak.
Berbagai alat alat berat segera bekerja membuka hutan, mengeringkan rawa-rawa, mengangkut tanah untuk menimbunnya, dan kemudian membangun jalan di atasnya, serta memasang pipa minyak besar dan panjang.
Pada 1962, dengan jumlah penduduk sekitar 8.000 orang, kampung (desa) Dumai berubah statusnya menjadi kota kecamatan. Kemudian pada 1968, Pertamina membangun pusat penyulingan minyak untuk mengolah minyak mentah yang dihasilkan Caltex. Seiring makin pentingnya kedudukan Dumai bagi perkembangan Provinsi Riau, instansi-instansi pemerintah mulai membuka kantor di kota kecamatan ini.
Dermaga minyak Caltex terus pula berkembang. Caltex membangun tangki-tangki berkapasitas 7,2 juta barel minyak, sementara 34 buah tangki milik Pertamina mampu menampung 2,5 juta barel minyak mentah dan hasil penyulingan.
Semua ini menjadikan Dumai tumbuh amat pesat menjadi kota pelabuhan minyak yang terbesar di Asia Tenggara. Pada tahun 1975, Lapangan Udara Pinang Kampai selesai dibangun, semakin lengkaplah fasilitas yang dimiliki Dumai.
Resmi Kota Administratif
Menteri Dalam Negeri Amir Machmud pada pertengahan Juli 1979 meresmikan Dumai sebagai kota administratif. Gubernur Riau R. Soebrantas kemudian melantik dan mengambil sumpah Drs Wan Dahlan Ibrahim sebagai Walikota Dumai pertama. Dumai menjadi kota administratif ke-11 di Indonesia, sesudah Tasikmalaya, Cimahi, Jember, Banjarbaru, Bitung, Palu, Kendari, Mataram, Denpasar dan Kupang. Kini Kota Dumai memiliki penduduk lebih 300 ribu jiwa, dan merupakan salah satu wilayah terpadat di Riau. Hal ini tentunya berkat kontribusi PT CPI, yang menjadi tulang punggung Dumai sejak dekade 1950an.(hen/adv)