PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Riau adalah manusia. Ini diungkapkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) RI Letjen Doni Monardo pada launching pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca (TMC) guna meminimalisir dampak bencana karhutla di Riau 2019, Senin (4/3) pagi. Dalam kegiatan di Lanud Roesmin Nurjadin itu, hadir juga Kepala BMKG RI Prof Dwikorita Karnawati, Kepala BPPT Hammam Riza dan Forkopimda Riau.
“Berdasarkan data dan riset dari para pakar, hampir 99 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah manusia. Di samping faktor alam karena cuaca,” kata Doni.
Dengan sudah terjadinya karhutla di Riau, dan prediksi cuaca bahwa akan terjadi musim kemarau pada Juni mendatang, Doni mengajak semua pihak melakukan upaya-upaya penanganan dan pencegahan yakni dengan melakukan TMC. “Kita harus mempersiapkan diri sejak awal. Jangan ketika terjadi kebakaran baru kirimkan pesawat. Jadi langkah mitigasi jadi program prioritas kita pada tahun ini,” sebutnya.
Doni menegaskan langkah pencegahan karhutla juga tidak harus selalu dengan penegakan hukum. Namun bisa juga dengan cara pendekatan humanis kepada masyarakat dengan melibatkan tokoh agama.
“Tindakan hukum sangat diperlukan terhadap para pelaku karhutla. Namun pendekatan emosional dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan agama untuk menanamkan perlunya kesadaran agar tak membakar lahan jauh lebih penting,” sebutnya.
Untuk itu, lanjut Doni, ia meminta kepada seluruh pihak terkait di Riau untuk bisa memaksimalkan dalam hal pencegahan mau pun pengendalian karhutla. Seperti pihak penegak hukum, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, Manggala Agni, instansi pemerintahan lainnya, hingga unsur-unsur yang ada di tingkat bawah kelurahan dan desa sebagai ujung tombak.
“Dalam pencegahan karhutla ini semua pihak harus terlibat. Tentu sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing,” ajaknya.
Dari sisi keagamaan, menurut Doni, peran para ulama juga hendaknya bisa diikut sertakan dalam melakukan pencegahan karhutla melalui khotbah atau ceramah-ceramah di mesjid terkait karhutla. Apalagi Provinsi Riau merupakan daerah dengan mayoritas muslim. “Mari kita libatkan ulama-ulama kita. Saat ceramah atau khotbah sisipkan soal karhutla ini,” harapnya.
Diakui Doni, persoalan karhutla yang terjadi di Indonesia termasuk Riau dalam beberapa tahun lalu sempat menjadi perhatian. Apabila saat itu, asap yang ditimbulkan akibat kebakaran sampai hingga negara tetangga. “Karhutla merupakan salah satu bencana yang cukup mengkhawatirkan, karena akibat karhutla pada 2015 lalu kerugian negara mencapai Rp250 triliun lebih. Untuk itu, mari kita menjaga alam, kemudian setelah itu alam yang akan menjaga kita,” tuturnya.
Prof Dwikorita Karnawati mengatakan, dari hasil analisis pihaknya, puncak musim kemarau di Riau akan terjadi pada bulan Juni hingga September. Selain di Riau, prediksi tersebut juga berlaku untuk beberapa provinsi di sekitarnya.
“Tapi puncak musim kemarau ini tidak terjadi merata. Di daerah pesisir Riau baru akan terjadi pada 10 hari pertama di bulan Juni. Sedangkan di daerah daratan, puncak musim kemarau diprediksi baru akan terjadi setelah itu. Hal ini juga yang akan berpengaruh pada pola sebaran hot spot di Riau,” sebutnya.
Deputi IV Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut (BRG) Dr Haris Gunawan mengatakan, salah satu upaya untuk pencegahan karhutla yakni dengan cara mempertahankan hutan rawa gambut yang tersisa di Riau. Karena dari pengamatan pihaknya, api yang membakar lahan akan mati ketika mendekati hutan gambut yang masih terjaga.
“Dari pengamatan kami, jika terjadi karhutla, api akan mati dengan sendirinya ketika mendekati hutan gambut yang masih terjaga. Karena di sana kandungan airnya masih terjaga sehingga gambut tetap basah. Untuk itu mari kita jaga hutan gambut kita agar bencana karhutla tidak terjadi lagi,” ajaknya.
Sementara itu, Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, khusus untuk Riau pihaknya telah menyemai garam untuk TMC sebanyak lima ton lebih. Karena dalam satu kali angkut, bisa disemai garam hingga 800 kg.
“Fokus penyemaian garam dilakukan di Kabupaten Bengkalis dan Kepulauan Meranti. Kalau total garam yang kami persiapkan dan sewaktu-waktu bisa digunakan ada 17 ton,” sebutnya.(sol)