"Tapi kenaikan rata-rata ini belum bisa menyerupai tingginya kepatuhan di awal upaya monitoring pada bulan September dan Oktober 2020 lalu," kata Wiku.
Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Covid-19, Sony Harry B Harmadi mengatakan bahwa masyarakat sudah cukup teredukasi dan mengetahui risiko dan bahaya penularan Covid-19. Namun kelelahan akibat pandemi atau pandemi fatigue telah menyebabkan menurunkan kualitas kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
Sony mengatakan, pemerintah sudah merubah mindset penanganan pandemi sejak transisi dari Gugus Tugas ke Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pada akhir Juli 2020 lalu.
"Penanganan sudah kita lakukan dari hulu. Kalau Gugus Tugas kan mindset nya kedaruratan kesehatan. Sementara Satgas itu perubahan perilaku. Jadi penanganannya sudah dari hulu," jelas Sony pada Jawa Pos (JPG), kemarin (24/1).
Sony mengatakan bahwa pada medio-akhir tahun 2020 sosialisasi perubahan perilaku sudah sangat gencar dilakukan oleh Satgas. Hasilnya adalah tingkat kepatuhan yang tinggi. Namun karena ada faktor pademic fatigue ini, masyarakat mulai kendor. "Apalagi pada bulan November ada kasus kerumunan. Itu berdampak besar. Kemudian ada juga libur panjang yang terus-terusan," katanya.
Sony menyebut, pandemic fatigue pernah terjadi dalam masa pandemi flu Spanyol pada Agustus 1918. "Kelelahan ini berbahaya karena memicu second wave dan meningkatkan angka kematian," jelasnya.
Saat ini, kata Sony Satgas tengah mengembangkan model baru perubahan perilaku yakni dengan pembentukan satgas-satgas kecil di daerah yang terhdiri dari unsur-unsur internal dari komunitas seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, dan aparat keamanan. Kemudian ada juga layanan psikologis keluarga dan komunitas untuk mengatasi kelelahan akibat pandemi ini.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng Mohammad Faqih menegaskan, jika pemeritah harus lebih menguatkan penanganan di hulu dan hilir di tahun ini. Hilir yang dimaksut meliputi tracing, testing, dan treatmen.
Untuk tracing, kata dia, meski sudah mulai ada perhatian lebih dari pemerintahdengan merekrut tenaga khusus namun perlu diperhatikan pula mengenai fasilitas kesehatan. Mengingat, mulai banyak berita di masyarakat soal pasien yang tidak sempat tertangani hingga meninggal."Harus ditambah dengan kemampuan fasilitas pelayanan yang cukup," tuturnya.
Kemudian, untuk hulu, Daeng menyebut, ada dua hal yang harus sangat diperhatikan tahun ini. Yakni, protocol kesehatan (prokes) dan vaksinasi. Keduanya akan sangat menentukan dalam upaya pengendalian pandemi. Mengenai prokes, dia mengkritisi implementasi prokes yang meliputi memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun serta air mengalir (3M) yang masih kurang maksimal. Bahkan di sejumlah daerah, 3 M tidak dijalankan dengan baik.
"Tidak kelihatan impactnya dalam upaya menurunkan angka kejadian, bahkan sekarang angka kejadian terus naik," ungkapnya.
Oleh sebab itu, dia mendesak agar pemerintah meninjau kembali prokes yang sekarang dilakukan. "Karena kalau di hulunya ini tidak diformat dengan baik strateginya, maka seterusnya masalah di hilir itu akan timbul," tegasnya. Imbasnya, pelayanan akan keteteran hingga cost yang harus dikeluarkan kian membengkak.
Dia juga menyarankan, pemerintah menambahkan sejumlah poin dalam prokes ini. Menurutnya, bila ditinjau dari segi ilmu kesehatan masyarakat, upaya menghadapi pandemic ini bukan hanya urusan mengubah perilaku. Di mana, 3M cenderung lebih kearah merubah perilaku. "Sebenarnya, menurut teori kesehatan masyarakat, untuk kita terhindar dari sebuah penyakit itu yang dirubah bukan cuma perilaku. Tapi banyak hal," jelas alumni fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya tersebut.
Minimal, ada tiga yang perlu diperhatikan. Pertama, mengubah perilaku. Kedua, memodifikasi genetic atau kondisi konstitusi tubuh. "Bahasa gampangnya, daya tahan tubuh," sambungnya.
Ketiga, memodifikasi lingkungan. Baik itu lingkungan kerja, lingkungan ibadah, lingkungan tempat makan, dan lainnya. Mengingat, selama ini urusan kondisi lingkungan baru sebatas himbauan-himbauan. Dia menilai dua aspek tersebut perlu dimasukkan dalam prokes. Pasalnya, bila prilaku sudah diubah, namun daya tahan tubuh tak dijaga dan lingkungan tak dimodifikasi maka hasilnya akan tidak maksimal.
"Ini perlu didorong masuk program nasional. Jadi tidak hanya 3M," ungkap Daeng.
Mengenai vaksinasi, Daeng mengkritisi soal data. Ia mengaku banyak mendapat keluhan dari tenaga kesehatan dan dokter-dokter di daerah soal data ini. Mereka ingin cepat mendaftar vaksinasi tapi terkendala di pendaftaran yang tersentral.
Dia menyarankan, agar ada konsolidasi data antara pusat dan daerah. Data memang harus terpusat, namun dalam rangka upload data, penentuan target sasaran yang jadi prioritas, hingga penentuan waktu vakisnasi bisa didesentralisasikan pada pemda.
"Sebaiknya dikasih ke provinsi atau kabupaten," ujarnya. Dia menilai, daerah lebih tahu dan lebih bisa memantau data terupload, terdaftar, atau tidak waktu tenaga kesehatan melakukan pendaftaran.
Sementara itu Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono kemarin menyatakan bahwa testing menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah. Terkait siapa yang dilakukan tes perlu dievaluasi. Menurutnya mereka yang termasuk dalam tracing harusnya dites. "Tes untuk memonitor kesembuhan seharusnya jangan dihitung," ujarnya.
Dengan testing yang dilakukan sekarang menurutnya belum bisa mencerminkan data asli. Dari standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), seharusnya testing saat pandemi Covid-19 ini yakni 1000 orang per 1 juta penduduk. Dengan testing ini diharapkan menemukan kasus Covid-19 untuk nantinya diberikan perawatan atau treatment. "Untuk deteksi kita tidak tahu berapa banyak," ucapnya.
Apa yang dilakukan hingga hari ini menurutnya tetap membuahkan hasil. Namun testing untuk menemukan kasus belum maksimal.
Selain itu, permasalahannya adalah testing yang belum dilakukan secara menyeluruh. Testing masih cenderung berada di kota-kota besar di Pulau Jawa. Pada Desember lalu, Satgas Penanganan Covid-19 membeberkan data baru ada 16 provinsi yang memenuhi standar WHO. "Kabupaten di Jabodetabek saja belum memenuhi standar," ucap Yunis.
Selain testing, tracing atau penelusuran siapa yang berpotensi memiliki virus SARS CoV-2 juga dinilai belum maksimal. Pada awal kasus Covid-19 di Indonesia, satu pasien Covid-19 akan di-tracing hingga 30 orang yang kemungkinan tertular. "Sekarang lima hingga 10. Makin kecil karena beban makin banyak," katanya.
Dikhawatirkan di daerah akan semakin kecil lagi. Selain permasalahan makin banyak yang terkena makin banyak pekerjaan petugas tracing, tenaga di daerah juga tidak sebanyak di kota besar.
Pemerintah menurut Yunis sudah belajar dan memperbaiki. Terbukti dari testing yang sudah diperbanyak. "Pemerintah ini serius namun galau (memilih antara) pertumbuhan ekonomi," ucapnya. Pilihannya adalah ketika ada testing yang ketat maka ekonominya bisa terpuruk. Menurut Yunis ini adalah pilihan yang diambil masyarakat.
Lalu terkait protokol kesehatan, menurutnya masyarakat juga harus menerapkan. Indonesia yang majemuk ini menurut Yunis masih banyak yang menyepelekan Covid-19.Terutama bagi kelompok yang memiliki pendidikan rendah yang lebih fokus pada kebutuhan ekonominya. "Justru karena (Covid-19) berjalan lama maka masyarakat tidak peduli," ungkapnya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah menyampaikan rasa sedih terhadap tren kasus Covid-19 di Indonesia. "Dulu banyak ahli bilang angka Covid-19 di Indonesia bisa sejuta kasus. Prediksinya mau ke sana," kata dosen Fakultas Ilmu Administrasi UI itu.
Dia menyimak paparan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang intinya bahwa selama ini data yang jadi acuan belum tepat. Menurut Lina, membuat kebijakan apapun tidak akan tepat jika didasari dengan penggunaan daya yang tak tepat pula.
Ke depan dia mengatakan pemerintah pusat maupun daerah harus memperkuat dan memperketat protokol kesehatan. Dia menegaskan saat ini sudah bukan saatnya bicara soal kesadaran masyarakat. Menurut dia pemerintah memiliki kewenangan untuk mendisiplinkan masyarakat untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. "Pemerintah (pusat dan daerah, red) harus berjibaku melakukan pemantauan kedisiplinan masyarakat," jelasnya.(sol/esi/ tau/lyn/mia/wan/far/jpg)