DISKUSI SUNGAI SIAK BERSIH DAN PELUNCURAN POSKO MASYARAKAT DAN NELAYAN PEDULI SUNGAI SIAK

Dulu Menjanjikan, Kini Mengkhawatirkan

Riau | Kamis, 01 Agustus 2019 - 10:29 WIB

Dulu Menjanjikan, Kini Mengkhawatirkan
DISKUSI: LBH Pekanbaru taja diskusi Sungai Siak Bersih sekaligus peluncuran posko masyarakat dan nelayan peduli Sungai Siak di Kafe Kopikirapa, Jalan Kuau, Selasa (30/7/2019) malam. *3/Mirshal/Riau Pos

(RIAUPOS.CO) -- Kondisi Sungai Siak semakin memprihatinkan. Sampah mengoroti sungai. Air tercemar limbah. Nelayan sulit mendapatkan ikan. Perlu langkah nyata untuk segera menyelamatkan Sungai Siak.

Keprihatinan atas kondisi Sungai Siak ini tak hanya dirasakan masyarakat sekitar. Tapi juga oleh  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru. Dari beberapa kali pertemuan LBH dengan para nelayan sekitar Sungai Siak, akhirnya LBH Pekanbaru menaja diskusi Sungai Siak Bersih dan peluncuran Posko Masyarakat dan Nelayan Peduli Sungai Siak.

Bertempat di Kafe Kopikirapa, Jalan Kuau, diskusi dimulai sejak pukul 20.00 WIB, Selasa (30/7). Hadir sebagai pemateri, stakeholder WWF Central Sumatera Ratna Dewi, nelayan Sungai Siak Atan Keok dan dari LBH Pekanbaru Andi Wijaya.
Baca Juga :Naik Kapal Susuri Sungai Siak, Ditpolairud Berikan Pesan Pemilu Damai

Dalam pemaparannya, Atan Keok mengatakan kondisi Sungai Siak sudah sangat miris jika digunakan atau dimanfaatkan airnya. Bahkan beberapa warga jika menyentuh air tersebut terkena gatal-gatal. Katanya, berbeda dengan semasa ia kecil. “Dulu waktu kecil air masih jernih, kapal-kapal besar banyak melintas dan ikan-ikan masih banyak. Segala yang ada di sungai bisa dimanfaatkan,” ucapnya.

Lalu, dulu pun bisa melakukan MCK di Sungai Siak, namun sekarang jangan harap bisa melakukan kegiatan seperti masa kecil dulu. “Harapannya semoga dari WWF, LBH dan yang hadir di sini agar dapat membantu memulihkan Sungai Siak dari banyaknya ‘ranjau’ (sampah, red),” harap pria yang sudah menjelani profesi sebagai nelayan selama 20 tahun tersebut.

Kemudian, jika warga yang pencariannya sebagai nelayan dapat hidup makmur. Pendapatan bisa mencapai lebih dari Rp3 juta. Namun, kini pendapatan hanya Rp1,8 juta. “Tak hanya itu beberapa lainnya pun sudah tidak menggantungkan diri sebagai nelayan. Artinya, bekerja sebagai nelayan kini sebagai pekerjaan sampingan,” jelasnya.

Sementara itu, Ratna Dewi ingin yang hadir untuk melihat kepada kosmologi terlebih dahulu. Tujuannya agar sama melihat dengan diri sendiri. “Kalau kita melihat lautan sebagai batang tubuh, sungai adalah urat nadinya Indonesia, sebenarnya,” sebutnya.

Kemudian, dengan tercemarnya air sungai menjadikan kearifan lokal berkurang. ‘’Jika dulunya bayi yang baru lahir bisa dimandikan di sungai, namun jika sekarang dimandikan di sungai saat ini malah menjadikannya sakit gatal,’’ kata Ratna Dewi.

Katanya, dulu rumah-rumah dibangun menghadap sungai. Kini rumah dibangun memunggungi sungai. ‘’Dulu sungai adalah halaman depan, tapi kini sungai halaman belakang. Pun kini sungai sebagai tempat untuk membuang sampah,’’ tuturnya.

Beberapa persoalan yang dihadapi sungai di Indonesia, katanya, seperti buruknya kualitas baku air, pendangkalan atau sedimentasi, tata kelola dan airnya. ‘’Sebenarnya banyak lembaga yang bekerja di sungai seperti Kementerian PUPR punya BWS tetapi mereka hanya mengurusi infrastrukturnya. KLHK punya BPDAS, tetapi hanya mengurusi daerah di aliran sungainya. Pemprov, pemko, pemkab itu hampir tidak ada yang menjadikan sungai sebagai arus utama dari lokus konservasi,’’ sebutnya.

Kemudian, sejak peta sungai pertama yang dibuat oleh Emmarsdem, ahli geografi Belanda dan penulis Sejarah Sumatera pada 1873, sampai hari ini Indonesia belum punya database yang akurat tentang sungai. Dari situlah yang memperlihatkan begitu buruknya tata kelola di Indonesia.

Disebutkannya, Riau memiliki empat sungai besar sekaligus yaitu Sungai Rokan, Sungai Indragiri, Sungai Siak dan Sungai Kampar. Provinsi Jambi hanya punya satu sungai yaitu Sungai Batanghari, Sumsel pun cuma punya satu yaitu sungai Musi. “Provinsi Riau adalah provinsi yang berkelimpahan tentang sumber daya air,” imbuhnya. 

Dari empat sungai yang ada di Riau, hulunya ada di Sumatera Barat. Namun ada satu yang baik hulu maupun hilir ada di Riau yaitu Sungai Siak. Hulunya di Bukit Suligi dan hilirnya pantai timur Sumatera. “Jika Sungai Siak rusak maka yang merusak orang Riau, kalau yang rusak sungai yang lain kita masih bisa menuduh orang tetangga,” tuturnya.

Lebih lanjut, 68 persen sungai yang berada di Sumatera itu tercemar, lalu menyusul Kalimantan, Sulawesi, Papua, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Tujuh sungai paling tercemar di Indonesia salah satunya Sungai Siak.

“Sebenarnya kondisi empat sungai yang ada di Riau ini tercemar. DAS Kampar berdasar data Menteri Kehutanan pada tahun 2009 itu sudah menjadi prioritas DAS Nasional karena di sana satu lokus penting yaitu PLTA. DAS Siak pada tahun 2016 masuk dalam DAS kritis berat dari 108 DAS kritis di Indonesia,” katanya.

Rincinya, DAS kritis memiliki tiga kategori yaitu kritis ringan, sedang dan berat. Siak masuk dalam satu dsri 60 DAS kritis berat. Lalu DAS Indragiri masuk dalam DAS prioritas dan DAS Rokan. 

Adapun sumber pencemaran limbah di sungai yang ada di Indonesia yaitu limbah domestik, limbah MCK, limbah peternakan, industri dan perikanan. “Orang pesisir sebenarnya sangat welcome dalam melakukan program pemulihan sungai karena etos kerja yang ulet,” ujarnya.

Sedangkan dari pihak LBH, Andi Wijaya mengatakan LBH memiliki beberapa temuan di antaranya dari 17 nelayan yang disurvei pernah sering melihat ikan mati secara besar di kawasan Sungai Siak. Tetapi peristiwa matinya ikan bisa mengindikasikan bahwa Sungai Siak sudah tercemar oleh zat-zat beracun.

Kemudian, secara kasat mata memandang Sungai Siak sudah berubah. Bahkan beberapakali mendapat laporan warga terdapat tongkang batu bara yang sengaja ditutupi sehingga ketika datang ke sana debu-debu batu bara bertebaran.

“Dengan dibukanya posko pengaduan, nantinya bisa pengaduan pencemaran perusahaan maupun terhadap masyarakat,” paparnya.

Hal itu pulalah yang disesalkan kepada pemerintah daerah. Dimana di dalam RPJMD 2014-2019 bahwa Sungai Siak memang sudah tercemar berat, tapi tidak ada program khusus terkait pemulihan. 

Ketika Sungai Siak tercemar, sisi kesehatan masyarakat pun terganggu khususnya nelayan. “Di mana sungai hitam yang ada minyaknya saat terpegang itu gatal. Ini baru nelayan di wilayah Okura. Karena di daerah Okura merupakan wilayah yang terhimpit oleh PLTU, PKS, PLTD,” ujarnya.(*3)

Laporan MARRIO KISAZ, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook