PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Sebuah tanjak berwarna hijau berukuran 6 x 4 meter berdiri tegak di halaman Kampus Utama Universitas Muhammadiyah Riau (Umri), Jalan Tuanku Tambusai, Pekanbaru, Ahad (31/3). Tanjak tersebut memperoleh gelar sebagai tanjak terbesar di Indonesia dan tercatat di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) dengan nomor 8.940.
Tanjak terbesar ini dibuat oleh Kelompok Wirausaha Mahasiswa Umri dari Program Studi Ekonomi Pembangunan Semester 2 yaitu, Muhammad Sayup, Vicky Ferdian, dan Reski Nur Ichsan. Tanjak yang dibuat adalah Tanjak Tebing Runtuh. Terbuat dari kain songket, lapisan busa dan juga kayu. Perlu waktu 15 hari untuk membuatnya.
Perwakilan MURI, Awan Rahargo sebelum memotong pita di area tanjak dan memberikan sertifikat MURI,mengucapkan selamat kepada Umri yang telah berhasil membuat replika tanjak terbesar, dan menjadikannya sebagai capaian prestasi, karya dan karsa anak bangsa.
“Pada hari ini, MURI menyaksikan suatu capaian prestasi, karya anak bangsa. Dibuat oleh keluarga besar Umri, membuat replika Tanjak Tebing Runtuh terbesar di Indonesia. Muri mencatatnya sebagai tanjak terbesar di Indonesia. Kami persembahkan dengan bangga dan hormat, anugerah sertifikat MURI ke Umri,” tuturnya.
Pemecahan rekor MURI itu dalam rangka mild ke-11 Umri. Juga ada kegiatan Pekan Budaya dan Wirausaha Umri, reuni akbar, atraksi budaya Melayu, job fair yang diadakan mulai 31 Maret hingga 2 April 2019.
Dalam ekspo wirausaha, ada 100 stan ekspo wirausaha. Terdiri dari 45 stan UMKM, 44 stan program studi dan himpunan studi serta satu stan Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu.
Hadir dalam acara tersebut, Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayau (LAM) Riau Al azhar, Rektor Umri Dr H Mubarak MSi, Tim Verifikasi Museum Rekor Dunia Indonesia Awan Rahargo dan Nadi Santosa.
Dalam sambutannya, Ketua Panitia Desliana Dwita SIP MIKom mengatakan, Umri memilih tanjak dan mencatatkannya sebagai tanjak terbesar bertujuan untuk memperkenalkan tanjak ke masyarakat luas. Menurutnya, banyak masyarakat bahkan di Riau sendiri tidak mengetahui apa itu tanjak.
“Masih ada yang bertanya kepada saya, apa itu tanjak. Maka saya mengingatkan tentang blangkon. Semua orang tahu blangkon. Masih banyak orang yang tidak tahu tanjak,” kata Dwita.
Rektor Umri H Mubarak menuturkan, Umri berniat untuk melestarikan budaya Melayu melalui pakaian. Menurutnya, banyak pakaian Melayu saat ini telah dimodifikasi sehingga lama-kelamaan ciri khas pakaian Melayu bisa hilang. “Umri ikut mengangkat budaya Melayu sesuai dengan visi Riau 2020. Kami berazam akan membudayakan pakaian Melayu di kampus ini. Ke depannya, kami harus membuat baju Melayu asli,” ujarnya.
Dalam perhelatan tersebut, mayoritas yang hadir, seperti rektor, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau Yoserizal Zen, hingga mahasiswa memakai pakaian Melayu. Tak lupa para laki-laki mengenakan tanjak di atas kepala untuk menyukseskan Riau Bertanjak. Meski ada yang tak berpakaian Melayu, mereka tak melupakan tanjak di atas kepala mereka.
Sedangkan Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Melayu Riau (LAMR) Al azhar menjelaskan terkait fungsi tanjak bagi kehidupan masyarakat Melayu. Ia mengatakan jika tanjak itu ditempatkan di atas kepala, maka tanjak berhubungan dengan fungsi kepala bagi seluruh tubuh. Dalam kitab sejara Melayu, ada cerita ketika para bangsawan di Malaka bermain sepak raga atau takraw, pada suatu waktu, bola melayang dan jatuh menimpa tanjak seorang putra bangsawan, maka Malaka pada senja itu kalang kabut bersimbah darah.
“Sepak raga itu permainan, tanjak bukan permainan. Apabila menyentuh tanjak yang terikat di kepala, tumpah marwah laki-laki,” katan Al azhar. Ia menambahkan jika kepala tidak bisa dipegang oleh sembarang orang, sehingga kepala selalu ditutup dan merupakan simbol kehormatan yang melindungi kepala.
Dalam sambutannya, Al azhar mengatakan, Tenas Effendy mencatat terdapat 76 jenis tanjak. Menurutnya tanjak Melayu berbeda dengan yang dimilki Sunda dan Bali. “Sunda dan Bali relatif sama dan sedikit bervariasi, Jawa juga. Tapi di Melayu sampai tahun 80-an hasil inventaris Tenas Effendy adalah 76. Kalau tahun ini dihitung lagi pasti lebih dari 100 inventaris tanjak,” ucapnya.
Selain itu Al azhar juga mengatakan jika Tanjak Tebing Runtuh lebih banyak digunakan masyarakat karena melihat dari bentuk yang semakin tinggi semakin merunduk. “Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk, tanjak mencerminkan keramahtamahan dan kerendahan hati,” katanya.
Pada hari bertabur pantun tersebut, lagu-lagu Melayu dikumandangkan pada hari itu, menambah kental suasana penuh budaya Melayu di siang yang terik itu. Gubernur Riau Syamsuar melalui Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau Raja Yoserizal Zen meyakini, jika kegiatan ini merupakan terobosan baru untuk mendorong ekonomi kreatif yang mengarah pada kebudayaan Melayu. Selain itu Yoserizal menuturkan jika ekonomi kreatif dikelola dengan baik dan maksimal, akan mendatangkan pemasukan dan memberikan kontribusi nyata bagi pariwisata Riau.
“Kini semangat kaum milenial melestarikan budaya Melayu, banyak tanjak yang mudah ditemui. Jika ekonomi kreatif berkembang, ini akan meningkatkan pariwisata dan mensejahterakan pelaku ekonomi kreatif itu sendiri,” kata Yoserizal. Setelah itu acara ini dibuka secara resmi dengan memukul marwas (gendang kecil khas Riau).
Tanjak sebagi kain yang dililitkan di bagian kepala merupakan pakaian khas Melayu yang dipakai oleh laki-laki. Tanjak dianggap lambang kewibawaan di kalangan masyarakat Melayu. Sementara Tanjak Tebing Runtuh memiliki lipatan lingkar ganjil dan lipatan miring yang berjumlah sama. Pada zaman dahulu, tanjak jenis ini dipakai oleh para laksmana, yang memiliki derajat di kalangan bangsawan kerajaan serta memiliki pasukan yang siap menggantungkan nyawa sebagai taruhan dalam melindungi daulat raja.
Di dekat tanjak terbesar tersebut dituliskan filosofi Tanjak Tebing Runtuh. Bagai tebing runtuh sebelah, yang tinggi sebelah kanan, yang rendah sebelah kiri, yang pucuk di sebelah muka, lipatnya jalin-jalinan. Berlenggek bersusun lima, bertabur berbenang emas, pakaian orang besar-besar, orang patut dalam negeri.(*2/ayi)