JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan penghapusan presidential threshold (PT). Putusan itu menjadi pijakan Panitia Khusus (Pansus) UU Pemilu mematenkan ketentuan ambang patas perolehan suara parpol untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Ketua Pansus UU Pemilu Muhammad Lukman Edy menuturkan, putusan MK mengakhiri polemik konstitusionalitas PT. ’’MK sama dengan DPR, memandang bahwa presidential threshold itu adalah open legal policy (kebijakan politik terbuka),” terangnya saat dihubungi, kemarin (26/10).
Karena itu, tidak akan ada perubahan atas ketentuan tersebut. Politikus PKB itu menuturkan, saat masih menjadi RUU Pemilu, perdebatan terkait PT sudah terjadi. Kala itu perdebatan hanya menyangkut konstitusionalitas PT. Bukan besaran PT. Semua sepakat dengan syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pemilu legislatif.
Namun, sebagian masih ragu apakah aturan tersebut bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Akhirnya, semua pihak sepakat memasukkan PT ke UU dan menjadikan MK sebagai wasit bila ada yang mengajukan uji materi. Rupanya, MK menyatakan PT sebagai ketentuan yang konstitusional. ”Dengan Mahkamah Konstitusi memutuskan seperti ini, artinya konstitusional,’’ tuturnya.
Langkah berikutnya dalam pengaturan pencalonan presiden akan berpijak pada putusan tersebut. Pada Pemilu 2024, yang berhak mengajukan capres dan cawapres adalah parpol yang memenuhi PT berdasar hasil Pemilu 2019. Yakni, partai atau gabungan partai yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau minimal 25 persen suara sah Pileg 2019.
Lukman juga memastikan tidak ada peluang perubahan ketentuan meski sebatas pengurangan besaran minimal PT. ’’Tidak pernah ada negosiasi seperti itu (besaran threshold),’’ lanjutnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan, pihaknya tidak akan berhenti berupaya. Bagaimanapun, tutur dia, PT harus dihapus. ’’Karena itu adalah konsekuensi dari pemilu serentak,’’ tuturnya kemarin.
Menurut dia, waktu pelaksanaan pencalonan peserta pemilu yang bersamaan membuat PT tidak lagi relevan untuk digunakan. Persoalan konstitusionalitas bukan berada pada PT. ’’Yang kami anggap inkonstitusional adalah merujuk hasil pemilu lima tahun sebelumnya untuk dasar melakukan pencalonan presiden,’’ lanjutnya.
Menurut dia, yang berhak mencalonkan presiden adalah peserta pemilu yang sedang berkontestasi di pemilu yang sama. Bukan hanya pemenang pemilu edisi sebelumnya. Saat pileg dan pilpres masih terpisah, pencalonan dilakukan parpol peraih kursi parlemen pada edisi pemilu yang sama. Bukan pemenang pemilu edisi sebelumnya.
Karena itu, sebagai salah satu pemohon uji materi, Perludem akan mencermati hasil pemilu legislatif tahun depan. Kemudian, mendorong para anggota legislatif terpilih untuk mengubah UU Pemilu dengan menghapus pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. Tidak mungkin lagi berharap pada MK.
Perubahan itu dimungkinkan meskipun MK menyatakan PT konstitusional. Sebab, MK memberi catatan bahwa PT merupakan kebijakan yang bersifat open legal policy. Artinya, masih dimungkinkan ada amandemen bila pembuat UU sepakat untuk mengubahnya. ’’Ada atau tidak ada, PT sama-sama konstitusional,’’ tambah perempuan kelahiran Palembang itu. (byu/c10/fat/das)