JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Larangan penayangan hasil survei pada hari tenang dan hasil hitung cepat (quick count) saat pemungutan suara mendapat protes dari Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi). Mereka berencana mengajukan judicial review (JR) atau uji materi terhadap UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Umum Aropi Sunarto menyatakan, pemilu merupakan pesta demokrasi yang seharusnya dinikmati seluruh masyarakat. Terlebih, pemilu pada 17 April bukan hanya pilpres, tetapi juga pemilu serentak. ”Dengan lima jenis surat suara yang dilaksanakan serentak di sejumlah daerah di Indonesia,” katanya seperti diberitakan JPG, (15/3).
Menurut dia, semua pihak tentu berharap pemilu terselenggara dengan adil dan tidak ada hak masyarakat yang tercederai. Begitu pula hak masyarakat untuk memperoleh informasi seluas-luasnya terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Termasuk hasil hitung cepat pada hari coblosan pemilu.
Sunarto menyatakan, keinginan masyarakat untuk mengetahui hasil hitung cepat terpenuhi oleh kehadiran lembaga survei. Masyarakat pun sangat antusias dalam memantau perkembangan hasil pemilu. ”Keinginan masyarakat untuk mengetahui hasil pemilu biasanya terpenuhi oleh rilis data hitung cepat yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei,” ujar dia.
Pada pemilu kali ini, keinginan masyarakat untuk tahu lebih cepat hasil pemilu terkendala oleh peraturan pemilu yang tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 pasal 449 ayat 2 dan ayat 5. Isinya, pengumuman hasil survei tidak boleh dilakukan pada masa tenang dan pengumuman prakiraan hasil hitung cepat hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah waktu Indonesia bagian barat.
Pasal 509 berisi tentang ancaman hukuman pidana bagi pihak yang mengumumkan hasil survei. Juga pasal 540 ayat 2 yang berisi tentang ancaman pidana penjara dan denda apabila lembaga survei masih melakukan tindakan sebagaimana yang tertuang di pasal 449 ayat 2 dan 5.
Dia menjelaskan, sebetulnya sudah ada yurisprudensi. Sebelumnya, pernah terjadi pada 2008 dan 2014. Pada 2008, Aropi mengajukan JR terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Dalam pasal 188 ayat 2, 3, dan 5 serta pasal 228 dan pasal 255, tertuang penjelasan yang memungkinkan peneliti lembaga survei dijerat hukum pidana apabila mengumumkan hasil survei pada masa tenang dan memublikasikan penghitungan cepat pada hari pelaksanaan pemilu.
Pada 2014, Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) mengajukan JR ke MK terkait UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. UU tersebut memuat peraturan yang serupa dengan UU Nomor 42 Tahun 2008 yang berisi pembatasan penyiaran hitung cepat dua jam setelah TPS ditutup di wilayah waktu Indonesia bagian barat. (lum/c6/agm/jpg)