JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Partai Gerindra tengah dikait-kaitkan akan masuk ke dalam pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) periode 2019-2024. Baru-baru ini bahkan Ketua Umum Partai berlambang kepala burung garuda itu sudah bertemu dengan Presiden di Istana Negara.
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Jakarta, Ujang Komaruddin menilai, Gerindra sebaiknya tetap berada di kubu oposisi. Karena pemilihnya cukup besar mencapai 68 juta orang, dan mayoritasnya tidak mendukung pemerintah Jokowi.
"Harusnya Gerindra jadi oposisi saja. Karena pendukungnya banyak yang menginginkan Gerindra berada di luar kekuasaan. Menjadi oposisi sama-sama terhormatnya dengan berkuasa. Bahkan menjadi oposisi lebih terhormat. Karena bisa mengingatkan pemerintah ketika pemerintah salah jalan dan salah arah," kata Ujang saat dihubungi, Sabtu (12/10).
Meski begitu, Ujang mengatakan, dinamika politik sangat cair. Upaya Gerindra mendekat ke pemerintahan pun dinilai wajar. Karena tujuan politik yakni mencari kekuasaan.
"Itulah politik, sifatnya cair, dinamis dan kompromistis. Dulu lawan, sekarang kawan. Begitu juga sebaliknya. Karena koalisi yang dibangun bukan berbasis dan berdasar ideologi, maka koalisi akan mudah pecah," jelasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini menambahkan, idealnya negara membutuhkan oposisi yang kuat dan tangguh dalam mengawasi pemerintah. Yang mengkhawatirkan apabila Gerindra dan Demokrat masuk dalam koalisi pemerintah, maka kontrol terhadap kepemimpinan Jokowi – Maaruf berkurang, sehingga kewenangan cenderung disalahgunakan.
"Kata Lord Acton, power tends to corrupt. Kekuasaan itu akan cenderung korup atau disalahgunakan. But absolute power, corrupt absolutely. Dan kekuasaan yang absolut kecenderungan penyalahgunaannya pun akan mutlak," tegas Ujang.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi