JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Polri kerap dituding berat sebelah dalam pilpres 2019. Mulai munculnya pengakuan mantan Kapolres Pasir Wangi AKP Sulman Aziz yang belakangan diralat dan munculnya informasi screenshot grup Whatsapp yang diduga dari salah seorang Kapolres untuk mendukung salah satu calon. Kondisi tersebut dinilai terjadi, salah satunya karena pengawasan yang lemah.
Direktur Eksekutif Partnership for Advancing Democracy and Integrity (PADI) M Zuhdan menuturkan, terdapat banyak anasir yang menilai posisi Polri cenderung ke salah satu pihak. Padahal, secara konstitusi dalam undang-undang kepolisian menyebutkan bahwa asas netralitas itu harus menjadi tubuh dan sikap Polri dalam berpolitik.
”Saat Polri tidak netral itu akan mengganggu tegaknya rule of law, yang menjadi jiwa dari demokrasi,” ujarnya. Faktor penyebab ketidaknetralan itu bisa berasal dari beberapa sumber, seperti fit and proper seorang Kapolri, politik anggaran Polri yang memerlukan dukungan rezim dan minimnya lembaga pengawas Polri, baik secara kewenangan dan jumlah. ”Itwasum, Kompolnas dan lainnya, masih memerlukan perkuatan,” jelasnya.
Pengawas internal semacam Itwasum dan Divpropam, selama ini belum bekerja maksimal. Keduanya hanya terkesan menangani kasus yang menyangkut kode etik internal anggota Polri. ”Bukan mengawasi bagaimana polisi bekerja profesional,” paparnya.
Keterbukaan pengawasan dan penanganan kasus oleh pengawas internal juga sulit diakses publik. Padahal, merupakan bagian dari informasi publik yang penting untuk melihat kinerja korps Bhayangkara.
”Terkesan formalitas saja,” jelasnya.(idr/jpg)
>>>Selengkapnya baca Harian Riau Pos
Editor: Eko Faizin