JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa menolak calon kepala daerah yang pernah menjadi pecandu narkoba. Meskipun menggunakan pedoman pada putusan Mahkamah Kontitusi (MK). Hal itu, ditegaskan oleh Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid.
"Ya tentu saja KPU bisa menolak calon kepala daerah (mantan pecandu narkoba). Putusan MK itu bisa dianggap cukup," ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya pada JawaPos.com, Kamis (6/8).
Menurut Fahri Bachmid, idealnya KPU menerbitkan peraturan tersendiri untuk mengatur mentan pecandu narkoba itu bisa maju di Pilkada. Hal itu sebagai sikap KPU dalam mengakomodasi apa yang sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).
Tujuan dari peraturan KPU itu, nantinya sebagai tata cara atau syarat pencalonan bagi mereka yang sebelumnya dinyatakan melakukan pebuatan tercela dan melawan hukum, seperti narkoba.
"Hal ini agar ada kepastian hukum dan ada kejelasan tetang bagimana memperlakukan mereka. Jadi putusan MK itu harus ditindaklanjuti secara teknis dengan peraturan KPU, sebagai implementasi daripada pelaksanaan putusan MK," katanya.
Lebih lanjut, Fahri menambahkan, putusan MK tentang larangan pecandu narkoba tersebut sudah jelas, mengikat. Namun demikian, kata Fahri, idealnya tetap diperlukan peraturan dari KPU, agar prinsip larangan sebagaimana diatur dalam rezim ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf i UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota benar benar dapat di implementasikan secara proporsional dan berkepastian hukum, dan tidak bias.
"Sebetulnya dalam putusan MK itu telah sangat jelas, tapi karena ini mengatur tentang hal-hal publik jadi idealnya ada norma, sebagai pelaksanaan dari kaidah yang ditetapkan oleh (MK) itu," ujarnya.
Karena, kata Fahri, MK sudah membuat kaidah hukum. Karena itu KPU harus berpedoman pada putusan MK itu, agar partai dapat mengusung calon-calon kepala daerah yang baik, berkualitas serta memiliki integritas dan standar moral yang tinggi, tambah Fahri Bachmid.
Peraturan KPU tentang syarat pencalonan Pilkada ini, menurur Fahri, sangat diperlukan. KPU juga bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga negara yang kredibil, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam menelusuri jejak rekam calon kepala daerah secara lebih substantif.
"Sehingga bisa diketahui orang-orang yang pernah bermasalah. KPU pasti membutuhkan supporting data, supporting informasi dari lembaga-lembaga yang berkompeten. Jadi pola relasi ini yang harus ada aturannya supaya ada kejelasan gitu," tukasnya.
Lebih lanjut, Fahri juga meminta KPU bekerja independen dan profesional dalam melakukan tahapan-tahapan proses calon kepala daerah. "Penyelenggara harus independen, profesional, memberlakukan calon-calon itu sesuai standar ukuran-ukuran hukum yang ada," katanya.
Untuk diketahui, pada Desember 2019 lalu MK memutuskan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Putusan MK tersebut melarang pecandu narkoba maju di Pilkada.
MK menyebut bahwa pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, kecuali dalam tiga kondisi. Pertama, pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat yang bersangkutan.
Kedua, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
Ketiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi