JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Pemilu 2019 lalu dinilai menjadi catatan buruk dalam sejarah demokrasi di Indonesia yang perlu dilakukan koreksi besar-besaran selama pelaksanaan masa orde reformasi yang hampir seperempat abad atau 25 tahun.
Pasalnya, banyak penyelenggara pemilu yang meregang nyawa akibat pelaksanaan sistem Pemilu Serentak yang dijadikan eksperimen politik pemerintah dan DPR selama ini.
"Persyaratan presidensial threshold (20 persen kursi DPR-red) menyebabkan polarisasi yang sangat tajam," kata Ketua Umum Partai Gelora, Anis Matta, dalam diskusi Gelora, kemarin.
Menurutnya, sistem tersebut berpengaruh pada penciptaan polarisasi yang sangat tajam, dan berujung pada pembelahan di masyarakat yang residunya masih ada hingga kini.
Pemberlakuan ambang batas (threshold) pada calon presiden dan parlemen juga dinilai menghalang-halangi munculnya potensi kepemimpinan nasional.
"Ini kalau kita mengeyampingkan teori konspirasi, tapi angka 900 lebih hilang nyawa dari penyelenggara pemilu itu. Artinya untuk setiap satu kursi DPR RI ada hampir dua nyawa yang jadi korbannya, itu angka yang sangat besar," ucapnya.
Belum lagi, daftar pemilih dalam Pemilu 2019 dikurangi dengan adanya suara rusak serta partai yang tidak lolos threshold. Maka, total anggota DPR yang ada di Senayan kurang dari 50 persen dari angka 575 tersebut.
"Artinya itu juga menunjukkan keterwakilan antara persentasi saat ini, salah satu dari hal-hal yang ingin dievaluasi di Partai Gelora sebagai bagian dari usaha pembenahan pada sistem politik kita," katanya.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, penerapan presidential threshold tidak lazim digunakan di negara yang menganut sistem presidensial.
Apalagi dengan syarat calon presiden harus memenuhi 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen suara sah secara nasional bagi partai maupun gabungan partai pengusungnya.
Persyaratan itu, ujar Burhanuddin, dinilai aneh karena bersifat pembatasan orang untuk maju sebagai calon presiden. Padahal, konstitusi tidak membatasinya.
"Presidential threshold itu aneh dan tidak lazim di negara lain. Tidak ada pembatasan yang ketat seperti di Indonesia untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan di Amerika Serikat calon independent pun bisa maju sebagai calon presiden," ujar Burhanuddin.
Dia khawatir kalau ambang batas itu dinaikkan lagi, maka partai berbasis agama akan hilang sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan politik.
"Jadi presidential threshold perlu dihapus. Parliamentary threshold diperlukan, tapi jangan terlalu tinggi karena bisa mengurangi pluralisme politik," ujar Burhanuddin.
Sementara itu, Wakil Ketua Partai Gelora Fahri Hamzah mengatakan bahwa aturan pemilu di Indonesia hanya mempersempit peluang munculnya calon presiden alternatif dari yang sudah dikenal selama ini.
"Dalam konteks itu, saya melihat sistem pemilu saat ini lebih memperkuat peran oligarki politik sekelompik elite. Namun, mengabaikan keterwakilan rakyat Indonesia dari berbagai daerah," ujarnya.
Laporan: Yusnir (Jakarta)
Editor: Rinaldi