PEMILU 2024

Yusril Ihya Gugat Presidential Threshold Pencalonan Presiden ke MK

Politik | Senin, 28 Maret 2022 - 08:08 WIB

Yusril Ihya Gugat Presidential Threshold Pencalonan Presiden ke MK
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra. (DOK JPNN)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra hingga Ketua DPD RI, La Nyalla Mahmud Mattaliti, melayangkan gugatan terhadap presidential threshold atau syarat ambang batas pencalonan presiden dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dikutip dari situs resmi MK, gugatan mereka teregister dengan nomor perkara 41/PUU/PAN.MK/AP3/03/2022 dan tercatat pada Jumat (25/3). Dalam petitum gugatan, mereka meminta agar MK menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dalam pasal 222 UU Pemilu.


"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian dikutip dari berkas gugatan.

Selain Yusril dan La Nyalla, turut ikut sebagai penggugat yakni tiga Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono, Mahyudin, Sultan Baktiar Najamudin. Lalu, Sekretaris Jenderal PBB, Afriansyah Noor.

Terkait gugatan tersebut, pemohon mencatat dari total 19 putusan atas pengujian Pasal 222 UU Pemilu terhadap UUD 1945, hanya tiga putusan yang pokok perkaranya dipertimbangkan.

Sementara 16 sisanya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard). Sehingga, Yusril dkk mengaku hanya akan memaparkan alasan dari tiga perkara yang putusannya dipertimbangkan.

"Atas dasar tersebut, maka Para Pemohon hanya akan memaparkan batu uji dan alasan permohonan yang berbeda terhadap 3 permohonan yang pokok perkaranya dipertimbangkan," ujar pemohon.

Menurut Yusril, meski tak memenuhi syarat perolehan suara di parlemen, partainya memiliki hak untuk mengajukan calon presiden. Hal itu sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Namun, hak tersebut kini dibatasi karena Pasal 222 UU Pemilu.

Menurut pihaknya, Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip negara hukum agar presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Karena itu, Pasal 222 harus dihapus untuk membuka ruang lebih lebar bagi arus perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi masyarakat.

"Berdasarkan argumentasi di atas, maka jelas terlihat bahwa keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945," kata pemohon.

Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook