Pertengkaran Filosofis Jari-jemari

Politik | Senin, 05 November 2018 - 14:21 WIB

Pertengkaran Filosofis Jari-jemari
BAGUS SANTOSO

(RIAUPOS.CO) - Ketika pada tahun politik sebagian publik ada yang mengkritisi atau memperdebatkan bahasa jari-jari (bahasa tubuh atau nonverbal). Itu karena memang bahasa nonverbal banyak memiliki kelebihan dibandingkan bahasa verbal (bahasa mulut). Paling tidak ada dua kelebihan dasarnya. Pertama, tubuh seseorang lebih duluan berbicara dibandingkan mulutnya. Bahkan riset psikolog menunjukkan 60 persen kerakter (kondisi jiwa, keinginan, maksud dan tujuan) seseorang terbaca lewat gerakan tubuhnya sebelum diucapkan.

Kedua, bahasa nonverbal bisa dipahami sejauh mata memandang. Dengan jarak 50 meter mungkin suara agak sulit kedengaran lagi dengan jelas, tetapi bahasa tubuh masih bisa mengirim pesan dengan jelas. Sejarah peradaban manusia pun diawali dengan bahasa nonverbal (bahasa tubuh). Ketika ditarik masuk ke wilayah politik, bahasa nonverbal ini ternyata jauh lebih dahsyat pengaruhnya dibandingkan bahasa verbal (bahasa mulut).

Sebagus apa pun narasinya tanpa didukung bahasa tubuh yang memikat agak susah menarik perhatian orang. Menuju Pemilu 2019 yang semakin dekat jaraknya, bahasa jari semakin jelas juga nilainya. Mengacungkan telunjuk sebagai simbol angka 1 maka kontruksi pemikiran orang langsung tertuju ke pasangan Capres no. 1 Jokowi-Mar’uf. Sehingga hati-hati memperlihatkan simbol angka 2 lewat jarinya di dekat Paspamres, karena pasti jari tengahnya ditekuk. 
Baca Juga :Wabup Bagus Santoso Ekspose Rencana Pembangunan Jembatan Pakning-Pulau Bengkalis

Managing Director IMF Christine Lagarde sudah merasakan teguran seorang menteri karena di atas forum pertemuan IMF-Wordh Bank di Nusa Dua Bali dalam kesempatan foto bersama mengacungkan dua jari sebagai simbol angka 2 yang bisa ditafsirkan macam-macam publik. Sementara mengacungkan telunjuk bersamaan jari tengah sebagai simbol angka 2 maka kontruksi pemikiran masyarakat langsung mengarah ke pasangan capres nomor 02 Prabowo-Sandi.

Untuk membaca makna kedua simbol jari dari kedua kubu pasangan capres dalam Pemilu 2019 ini, mari kita ikuti dialog atau perdebatan filosofis jari-jari memperebutkan di mana cincin kawin harus diletakkan. Jari kelingking sebagai anak jari mengatakan, aku kan paling kecil yang harus disayangi, jadi biarkanlah cincin kawin itu diletakkan padaku. 

Jari manis disampingnya hanya diam, yang menimpali justru jari tengah dengan mengatakan, itu tidak bisa karena masih kecil belum punya pengalaman menyimpan barang berharga. Jadi lebih baik cincin kawin itu sama aku, kata jari tengah. Nampaknya sang jari telunjuk sangat berminat juga diletakkan mahkota cinta padanya. Ia kemudian mengatakan kalau mau jujur semestinya cincin kawin itu dipasangkan sama aku, karena aku paling tua, paling kuat dan sudah berpengalaman. 

Mendengar dialog bernuansa perdebatan antara jari kelingking, jari tengah, dan jari telunjuk itu, ibu jari ikut bicara mencoba menengahinya. Supaya adil biarlah cincin kawin itu dimasukkan ke dalam diriku sebagai ibu jari, sehinga bisa aman karena aku sudah berpengalaman.

Berhentikah perdebatan itu setelah ibu jari mengambil alih? Ternyata belum! Jari manis yang selama ini diam, tiba-tiba buka suara. Katanya tidak adil kalau cincin kawin itu dipasangkan sama ibu jari, karena sudah tua dan dikhawatirkan tidak bisa menjaga keamanannya. Jadi sebaiknya mengalah dan memberi kesempatan kepada yang muda. Begitu pula jari telunjuk yang kerjanya hanya mampu nunjuk-nunjuk memerintah belum pantas cincin kawin itu dikenakan padanya. 

Sementara jari tengah yang kerjanya hanya suka nyolek-nyolek lebih tidak layak cincin kawin itu disematkan padanya. Terlebih anak jari yang masih muda dan belum ada pengalaman ini, jelas tidak layak menjaganya. Supaya aman, adil, dan tidak ada kecemburuan biarlah cincin kawin itu aku yang pakai, kata jari manis. 

Alasan pembenarnya, namaku masih bersih tidak suka mengusik orang lain. Beda dengan jari kelingking yang hobi ngupil, jari tengah gemar nyolek, jari telunjuk yang angkuh hanya nunjuk-nunjuk saja. Sementara ibu jari sudah berumur, pergerakannya sudah kaku, dan saatnya istirahat. Kata jari manis disambut membisu yang lainnya. Karena argumen jari manis bisa diterima logika, maka cincin kawin sebagai simbol cinta suci akhirnya dikenakan di jari manis.

Kalau kemudian dialog atau perdebatan filosofis jari-jari ini mau dipakai untuk memaknai  bahasa jari kedua pendukung pasangan Capres 2019 ini, bisa dikatakan mengacungkan telunjuk sebagai simbol angka 1 dapat ditafsirkan pemimpin yang suka nunjuk-nunjuk saja. Memang kerja sesungguhnya pemimpin itu adalah menunjukkan arah perjalanan bangsannya. 

Bukan nyangkul, angkat barang, atau bersihkan sampah. Karena pemimpin sesungguhnya bukan pekerja tapi penunjuk arah. Kalau arahnya benar menuju kota sejahtera jalan keadilan rakyatnya, itu wajib didukung. Namun kalau arahnya salah, wajib juga diingatkan kalaupun tidak dihentikan.

Sementara mengacungkan telunjuk bersamaan dengan jari tengah sebagai simbol angka 2, itu bisa juga ditafsirkan sebagai pemimpin yang menunjukkan arah perjalanan bangsanya. Keunggulannya ketika di tengah jalan arahnya menyimpang dari tujuan semula. Ada yang bisa nyoleknya (menyadarkan) supaya tetap fokus pada arahnya karena ada rakyat di belakang mengikuti dengan penuh cinta. Jangan kecewakan mereka yang mencintai pemimpinnya.

Tulisan ini tidak bermaksud mengajak pembaca memilih pemimpin mengacuh kepada dialog atau perdebatan filosofis jari-jari di atas, karena pasti pembaca sudah punya metode sendiri dalam memilih pemimpin. Namun yang pasti siapa pun terpilih menjadi presiden pada Pemilu 2019 harus menjaga nama Indonesia semakin eksis dalam peta dunia, jangan sampai hilang.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook