JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Bakal calon anggota legislatif (bacaleg) mantan napi koruptor yang menang gugatan di Bawaslu semakin banyak. Hingga Senin (3/9), jumlahnya mencapai 18 orang. Namun, KPU tetap pada pendirian awal, yakni menunda pelaksanaan putusan Bawaslu sampai ada putusan MA. Artinya, nama-nama bacaleg eks napi koruptor itu tidak dimasukkan daftar calon sementara (DCS).
Perbedaan sikap antara KPU dan Bawaslu itu dinilai bisa mengancam proses Pemilu 2019. Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih berusaha mencari solusi dengan mendatangi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Mereka meminta lembaga pengadil etik penyelenggara pemilu itu turun tangan.
Anggota DKPP Ida Budhiati mengatakan, pihaknya akan membantu meredakan ketegangan antara KPU dan Bawaslu. Rencananya, Selasa (5/9) hari ini dilakukan pertemuan antara dua lembaga itu dengan difasilitasi DKPP. ”Kami ingin mendengarkan penjelasan dari kedua pihak. Misalnya, alasan Bawaslu mengabulkan gugatan sengketa yang diajukan mantan napi koruptor,” katanya.
Ketua DKPP Harjono mengakui, ketegangan antara KPU dan Bawaslu sudah memuncak. Keduanya bersikeras dengan kewenangan masing-masing. KPU menyatakan punya kewenangan membuat Peraturan KPU (PKPU). Sebaliknya, Bawaslu bersikukuh dalam Undang Undang Pemilu tidak ada larangan bagi mantan napi koruptor untuk nyaleg.
Menurut dia, ada dua opsi yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pertama, salah satu pihak mengalah atau mundur. Kedua, menemukan win-win solution. Namun, dia enggan menjelaskan siapa yang harus mengambil langkah mundur. Begitu juga soal win-win solution. Semuanya diserahkan kepada KPU dan Bawaslu.
Jika keduanya tetap bertahan dengan sikapnya sekarang, solusinya adalah menunggu putusan Mahkamah Agung (MA) atas PKPU yang melarang mantan napi koruptor jadi caleg. ”Kami tidak bisa memaksa,” kata dia.
Sementara itu, Bawaslu masih ngotot untuk meloloskan bakal caleg mantan napi koruptor. Menurut anggota Bawaslu Rahmat Bagja, mungkin akan ada lagi gugatan bacaleg mantan napi koruptor yang dikabulkan. ”Nanti Jateng juga keluar ada (putusan), kemungkinan bertambah,” katanya.
Bagja menilai, yang diputuskan Bawaslu di daerah bukan hal yang salah. Sebab, sejumlah landasan telah mengatur. Mulai aturan UU Pemilu yang tidak membahas larangan, termasuk penghargaan hak dasar warga negara yang telah menjalani masa pidana. ”Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota punya kemandirian juga untuk mengawasi itu. Tapi, tetap dengan supervisi dan ada fungsi koordinasi dari kami,” katanya. (lum/bay/c10/fat/das)