JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Indonesian Democratic (IDE) Center menilai pertarungan elektoral pada pelaksanaan Pilkada 2020 harus dimanfaatkan kaum perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan dalam demokrasi. Pasalnya, peningkatan kuantitas perempuan dalam parlemen maupun eksekutif, tidak serta merta membawa keunggulan bagi peningkatan kualitatif perempuan dalam kehidupan demokrasi.
“Adanya komisi nasional antikekerasan terhadap perempuan sebagai contoh lain, juga tidak menjamin berhentinya bentuk-bentuk kekerasan psikis, fisik dan struktural terhadap perempuan,” ujar Divisi Pendidikan Politik & Pemberdayaan Perempuan IDE Center Alissa Chinny M. Kaligis dalam keterangannya, Jumat (30/10).
Alissa mengatakan, pasangan calon kepala daerah yang bertarung pada Pilkada 2020 harus memiliki agenda jelas dan konkret terkait persoalan yang dihadapi perempuan-perempuan Indonesia saat ini. Ia menilai, agenda konkret dimaksud dapat disosalisasikan melalui kampanye untuk menarik dukungan lebih pemilih perempuan. “Sebagai catatan berdasarkan data DP4 Kemendagri untuk Pilkada 2020, calon pemilih potensial perempuan 52.616.521 jiwa. Hampir menyamai jumlah pemilih laki-laki 52.778.939 jiwa,” ucapnya.
Menurut Alissa, jumlah tersebut sangat banyak untuk mendesak tuntutan kebutuhan kaum perempuan, yang tentunya harus diorganisir oleh elemen masyarakat sipil yang peduli terhadap isu perempuan. “Saya kira-hal-hal ini penting menjadi perhatian, karena perubahan struktural dan transformasi peran perempuan masih terbatas di lingkungan elite,” katanya.
Alissa juga menilai, mayoritas lapisan bawah stratifikasi sosial belum mampu keluar dari kungkungan budaya patriarki sebagai sumber otoritas maskulin, serta struktur-struktur yang menghambat emansipasi. Di sinilah pentingnya pasangan calon kepala daerah peka terhadap agenda perempuan terkait emansipasi, guna mempercepat kaum perempuan lebih maju dalam ikut serta membangun bangsa dan negaranya. Ia kemudian memaparkan sejumlah produk hukum yang mengandung makna protektif terhadap perempuan. Antara lain, UU Nomor 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Lalu UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. UU Nomor 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik serta UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan. Selain itu, pasal-pasal afirmatif juga mendorong perwujudan hak-hak politik perempuan dalam UU Pemilu yang mengatur 30 persen keterwakilan perempuan. Alissa mengakui, aturan tersebut telah meningkatkan persentase perempuan di parlemen nasional maupun lokal.
Namun, keterwakilan 30 persen saja ternyata tidak selalu dapat menghasilkan kebijakan yang pro terhadap agenda perempuan. “Karena itu, momentum pilkada harus digunakan kaum perempuan, khususnya masyarakat pemilih yang sadar politik, untuk lebih giat dan keras mengkampanyekan betapa pentingnya peranan perempuan dalam politik,” katanya.
Alissa mengatakan, sampai saat ini masih saja ada pandangan urusan rumah tangga adalah urusan kaum perempuan. Akibatnya, peranan kaum perempuan kerap terabaikan.
Baik dalam rumah tangga, tempat bekerja dan dalam ranah sruktural kepemimpinan politik. Laki-laki selalu diutamakan dalam pengambilan keputusan strategis. “Sudah saatnya momentum kontestasi demokrasi, yakni pilkada ini menjadi perhatian gerakan kaum perempuan untuk mengambil bagian lebih serius, untuk mematahkan anggapan diskriminatif terhadap peranan kaum perempuan,” tutur Alissa. Paling tidak, kata Alissa kemudian, dalam bidang politik. Bila perlu diadakan kontrak politik terhadap pasangan calon yang bertarung di Pilkada 2020.(fiz/int)