JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Jabatan legislator memang menggiurkan. Tidak heran, setiap pemilihan anggota legislatif (pileg), caleg yang bertarung sangat banyak. Pileg 2019, misalnya. Terdapat 7.968 caleg yang bertarung. Padahal, yang tersedia hanya 575 kursi.
Itu tidak lepas dari gaji yang diterima wakil rakyat. Data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebutkan, per bulan setiap anggota DPR rata-rata menerima gaji Rp 50 juta. Itu sudah termasuk gaji pokok dan tunjangan. Jumlah tersebut tentu lebih banyak untuk jabatan pimpinan DPR. ”Itu baru gaji dan tunjangan saja. Belum fasilitas lain-lain,” kata peneliti Formappi Lucius Karus kemarin.
Anggota DPR juga menerima fasilitas rumah dinas plus asisten rumah tangga yang mengurusi semua keperluan anggota. Juga, ada uang reses yang diterima per tahun. Dalam kegiatan menyerap aspirasi masyarakat itu, per anggota mendapat Rp 200 juta per tahun. Belum kegiatan kunjungan kerja (kunker) ke dalam dan luar negeri. ”Per anggota, biaya perjalanan dinas per tahun bisa lebih dari Rp 1 miliar,” papar Lucius.
Bukan hanya itu. Setelah tidak menjabat pun, mereka berhak mendapat uang pensiun. Besaran uang pensiun tersebut diatur dalam Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2016. Uang pensiun ketua DPR sebesar 60 persen dari gaji pokok setiap bulan. Kisarannya pada angka Rp 3,02 juta. Sementara itu, bagi anggota DPR yang merangkap wakil ketua, uang pensiun yang diterima Rp 2,77 juta. Untuk anggota yang tidak merangkap pimpinan, uang pensiunnya Rp 2,52 juta. ”Uang pensiun baru dihentikan bila meninggal dunia atau menjadi anggota lembaga tinggi lainnya,” jelasnya.
Meski gaji besar dan fasilitas menggiurkan, kinerja DPR yang buruk selalu menjadi sorotan. Yang paling kentara, tutur Lucius, adalah tingkat kehadiran dalam setiap rapat kerja dan sidang paripurna. Jika ada rapat paripurna, di ruangan disuguhkan deretan kursi kosong. ”Boleh dicek kalau paripurna. Kursi anggota lebih banyak yang kosong,” tegasnya.
Kinerja bidang legislasi juga dinilai masih buruk. Lucius Karus menegaskan, kinerja DPR periode 2014–2019 jauh lebih buruk daripada periode 2009–2014.
Belum lagi sejumlah kontroversi yang menghinggapi pucuk pimpinan. Seperti diketahui, DPR periode 2014–2019 tiga kali gonta-ganti ketua. Awalnya DPR dipimpin Setya Novanto. Namun, kepemimpinan politikus Golkar itu berakhir pada awal 2016. Setnov –sapaan Setya Novanto– mengundurkan diri karena terkena skandal ”papa minta saham” dalam kasus PT Newmont.
Kepemimpinan Setnov dilanjutkan Ade Komaruddin. Namun, yang bersangkutan tidak lama menjabat dan lengser pada November 2016. Ade Komaruddin kembali digantikan Setya Novanto yang telah dipulihkan nama baiknya.
Namun, pada 2018 karir Setya Novanto benar-benar tamat. Dia terjungkal dalam kasus e-KTP. Sejak awal 2018 Bambang Soesatyo pun naik ke tampuk ketua DPR. Bamsoet menjabat sampai akhir periode ini. ”Pergantian ini tidak normal karena semuanya by accident,” tandas Lucius Karus.
Meski demikian, DPR tetap tidak mau disalahkan. Fahri Hamzah yang kemarin menanggalkan status wakil ketua DPR menyampaikan bahwa kesalahan tersebut seharusnya tidak melulu diarahkan ke DPR. Bidang legislasi, misalnya. Tugas membuat regulasi, papar Fahri, adalah kewajiban DPR bersama-sama pemerintah. Menurut dia, tidak semua kesalahan harus dialamatkan ke parlemen. ”Sebab, banyak sekali UU yang gagal disahkan karena kesalahan pemerintah. Publik tidak boleh hanya menyalahkan parlemen,” tegasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman