Ada penghubung antara orang Rupat Utara dengan penampung di Malaysia. Ada juga kerja sama dengan aparat di Malaysia sehingga membawa orang sedemikian banyak akan aman-aman saja masuk ke Malaysia.
“Waktu itu, masih boleh minta rokok pada PDM (Polisi Diraja Malaysia),” ujarnya terkekeh.
Zairi sendiri termasuk salah satu tekong (nakhoda) kapal pembawa TKI ini. Kendati pekerjaan ini berisiko tinggi, tapi dia tetap melakoninya. Risiko menjadi tekong TKI memang lebih tinggi dibandingkan pelaku smokel. Sebab yang dibawa manusia, bukan barang. Risikonya besar. Terkait legalitas dan keselamatan selama pelayaran. Apalagi, jumlah yang diangkut biasanya lebih padat dibandingkan daya angkut maksimal kapal. Tapi risiko itu diambilnya. Gaji yang lumayan besar jadi faktor pendorong. Sekali jadi tekong, dia bisa mengantongi Rp500 ribu. Angka yang cukup besar di zaman itu. Apalagi, dia bisa menjadi tekong berkali-kali sesuai jumlah calon TKI ilegal yang akan masuk.
Risiko itu pun akhirnya memang diterimanya. Dia ditangkap PDM. Bahkan hingga dua kali. Kali pertama dia dihukum empat bulan. Pada masa berikutnya dipenjara selama dua bulan. Dia ditahan di Kajang, salah satu lembaga pemasyarakatan Malaysia yang banyak menahan pekerja migran.
“Risiko pekerjaan Pak!” ujarnya santai.
Setelah 2010, pengetatan batas dilakukan dua negara jauh lebih ketat. Di Rupat Utara bahkan mulai dibangun pos-pos keamanan dari banyak instansi. Lima tahun terakhir bahkan semakin ketat lagi.
“Sekarang sudah susah semuanya Pak. Makanya jual kerupuk saja,” ujarnya.***
Laporan MUHAMMAD AMIN, Rupat Utara