Shelter tiga jauh lebih luas dibandingkan shelter satu. Hampir juga tidak ada ruang kosong. Penuh. Banyak pendaki tidak mendapat tempat dan harus membentang tendanya di bawah shelter tiga atau bayangan. Beruntug, Riau Pos menggantikan lokasi orang lain yang sudah dijanjikan sebelum berangkat. Bahkan tidak perlu memasang tenda karena sudah ada satu tenda mereka. Tempat ini lebih ramai, lebih dingin oleh gerimis yang tak kunjung usai. Matahari tidak terlihat sama sekali. Kabut tebal lebih dominan. Tapi, aroma hari kemerdekaan lebih menyelimuti.
Upacara Tak Serentak
Dini hari di malam kedua, sekitar pukul 03.00 WIB, para pendaki sudah bagun. Mereka bersiap-siap untuk melakukan perjalanan menuju puncak supaya melihat matahari terbit di ufuk Timur. Tapi lagi-lagi cuaca kurang bersahabat. Sebagian pendaki yang telah naik, ada yang harus turun. Badai dan hujan. Dingin bukan kepalang. Masih ada yang masih bertahan di dalam tenda, salat subuh sambil menunggu hujan reda. Rata-rata pendaki berangkat pukul 06.00 WIB. Tak ada matahari terbit pagi itu. Hanya semburat warna oren memanjang di langit Sumatera. Hanya seketika dan kembali tak terlihat ditelan kabud dan gerimis yang kembali datang. Tapi pendaki tetap mendaki, hingga tiba di lapangan sekitar Tugu Yuda.
Di sinilah mereka memperingati hari kemerdekaan. Bendera dikibarkan. Di banyak titik. Lagu Indonesia Raya digaungkan. Sungguh upacara yang sangat sederhana. Apa adanya. ‘’Memperingati hari kemerdekaan boleh di mana saja. Caranya juga boleh berbeda, tergantung kondisi. Kalau upacara lama-lama di lapangan ini, bisa beku badan kita. Makanya sebentar dan sederhana. Tidak hanya sekali. Berganti-ganti, banyak kelompok karena sampainya di sini juga tidak sama. Ada yang cepat, ada yang lambat. Intinya, bagaimana kita bisa lebih memahami makna kemerdekaan yang kita punya,’’ ungkap Tumin, pendaki asal Yogyakarta.