KERAJINAN TENUN DI TENGAH MODERNISASI

Makin Sedikit Perempuan yang Ingin Menenun

Perempuan | Sabtu, 21 April 2018 - 11:34 WIB

Makin Sedikit Perempuan yang Ingin Menenun
MEMINTAL: Suryati memintal benang sebagai rangkaian membuat kain tenun di Rumah Tenun KSM Pucuk Rebung, Jalan Perdagangan, Kelurahan Kampung Bandar, Kecamatan Senapelan, Senin (16/4/2018).

Meski pesanan tak menentu, gemeretak suara alat tenun bukan mesin (ATBM) di Rumah Tenun KSM Pucuk Rebung, Jalan Perdagangan, Kelurahan Kampung Bandar Kecamatan Senapelan selalu terdengar setiap hari.

-----------------------------------------------------------------------------

Baca Juga :Rahasia Cantik Perempuan Korea, Glowing dengan Cara Sederhana

(RIAUPOS.CO) - WAWA, Ruhaya dan Suryati. Sejak tahun 2012, ketiga perempuan ini masih bertahan dengan profesi sebagai perajin tenun menggunakan ATBM ditengah perkembangan zaman modernisasi saat ini. Awalnya Rumah Tenun ini merupakan binaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pariwisata dan sekarang sudah dapat mandiri.

Ruhaya, wanita 44 tahun dengan dua anak ini mengungkapkan,  sangat sulit mencari sumber daya manusia (SDM) yang mau ikut serta bersamanya untuk belajar dan bekerja guna melestarikan kerajinan tenun khas Riau.

“Kalau dulu di tahun-tahun awal banyak perajin tenun di rumah tenun ini, tapi makin lama makin berkurang dan hanya tinggal bertiga yang masih meneruskan profesi perajin tenun khas Riau. Kalau saya enggan meninggalkan profesi ini. Jika bisa ini harus ditularkan. Terlebih rumah tenun ini berada di daerah Senapelan yang merupakan titik awal Kota Pekanbaru,” ujar Ruhaya.

Semakin berkurangnya minat perempuan menjadi perajin tenun ini dikarenakan perkembangan zaman yang modern. Ditambah pengerjaan di rumah tenun ini masih menggunakan ATBM, pemasaran yang tak menentu. Apalagi kerajinan tenun perlu kesabaran tinggi serta ketelitian.

Seperti disampaikan Suryati, warga Tanjung Rhu. Menenun itu membutuhkan kesabaran tinggi. Ditambah pesanan yang tidak menentu didapat. Terkadang pesanan memang datang dari negeri tetangga Singapura dan Malaysia. Tetapi pernah juga tidak ada. Walaupun begitu, ketiga wanita ini masih tetap menenun walaupun tidak ada orderan.

“Harus sabar kalau mau belajar menenun, itu yang sulitnya. Selain itu, orderan kami juga tidak menentu. Kadang ada, kadang juga tidak. Tergantung momen biasanya. Seperti musim hari raya atau musim bulan Syawal di mana banyak orang menikah,” ungkap Suryati.

Kerajinan tenun yang digeluti ketiga ibu rumah tangga ini pun semakin tergerus oleh perkembangan zaman di era modernisasi saat ini. Perubahan zaman memaksa ketiga wanita penenun ini untuk terus dapat mengikuti perkembangan zaman dalam memasarkan kain tenun sehingga dapat terus lestari hingga ke kalangan muda mudi.

Disampaikan Wawa, Ketua Rumah Tenun Kampung Bandar, pemasaran juga dilakukan melalui media sosial. “Pemasaran harus mengikuti perkembangan zaman. Kalau dulu hanya dari mulut ke mulut sekarang harus menggunkan media sosial. Biar menjangkau konsumen lebih luas. Dan juga harus bisa menularkan ke para pengunjung yang ke sini, menumbuhkan minat untuk belajar menenun,” tutur Wawa.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook