GEJOLAK yang muncul di cabang olahraga (cabor) sepaktakraw Riau beberapa waktu lalu harus menjadi catatan penting bagi PSTI Riau dan KONI Riau. Sebab, jika hal itu dibiarkan dan didiamkan, akan menjadi api dalam sekam. Harus ada penyelesaian yang melibatkan pemain dan pelatih, pengurus PSTI Riau, dan KONI Riau, agar seluruh pemain nyaman dalam menjalani latihan.
Masalah ini muncul setelah KONI Riau membayar dana pembinaan untuk atlet berprestasi. Seperti diunggah dalam akun Facebook beberapa pemain senior, mereka terkejut karena para pemain Riau yang tampil di PON 2016 Jawa Barat (Jabar) hanya mendapat dana pembinaan masing-masing Rp1.000.000. Hanya ada empat pemain yang mendapatkan dana pembinaan lebih besar karena dihitung berprestasi tinggi saat membela tim nasional (timnas). Mereka adalah Rizanov Kurniawan, Darmawan dan Florensia Cristy yang meraih emas dalam Test Event Asian Games di Palembang, serta Sutini (perak SEA Games 2017 Kuala Lumpur).
Para pemain beralasan, mereka seharusnya dihitung prestasi medali perak PON Jabar karena di tahun 2017 mereka tak dikirimkan oleh PSTI Riau ke iven nasional. Selama 2017, PB PSTI hanya menggelar satu kejuaraan, yakni Kejurnas Piala Sudirman (putra) dan Piala Kartini (putri) di Palu, Sulawesi Tengah, pada bulan Desember. Dalam kejurnas ini, Gorontalo (putra) dan Jawa Tengah (putri) berhasil meraih gelar di masing-masing dua nomor yang dipertandingkan.
KONI Riau selama ini sudah membuat acuan bahwa dana pembinaan atlet berprestasi dihitung dari prestasi di tahun sebelumnya. Ini berlaku di semua cabor. Jika cabor tak mengirimkan atlet ke kejuaraan skala nasional yang diakui KONI Riau seperti kejurnas atau kejuaraan resmi lain yang dianggap standar nasional atau bahkan internasional, maka para atlet tersebut tak berhak mendapatkan dana pembinaan.
Para pemain pun terkejut dan kemudian merasa diperlakukan tidak adil karena kenyataannya mereka tak dikirim ke Kejurnas di Palu oleh PSTI Riau. Mereka sempat bertemu dengan Sekum KONI Riau, Deni Hermanto Idehan dan beberapa pengurus lainnya. Untungnya akhirnya dicari solusinya dan disetujui dana pembinaannya dikembalikan seperti sebelumnya karena dalam posisi ini pemain tak bersalah. Jika dikirim ke kerjurnas dan mereka tak mendapat medali, sangat wajar kalau tak mendapat dana pembinaan.
Sebelum solusi itu disepakati, para pemain mengancam akan 'bedol desa' alias pindah bersama-sama ke daerah lain. Sekadar diketahui, saat ini banyak daerah yang mengincar para pemain Riau tersebut. Baik putra maupun putri. Hasil tiga perak dan satu perunggu di PON 2017 Jabar, tetap membuat para pemain Riau laris dan jadi incaran. Beberapa daerah yang mengincar mereka antara lain Papua Barat, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan beberapa daerah lainnya. Bahkan ada beberapa pemain yang sudah resmi mengajukan surat pindah/pengunduran diri kepada PSTI Riau dan KONI Riau.
Harus Jadi Prioritas
Di luar persoalan itu, cabang sepaktakraw mestinya menjadi cabor prioritas utama di Riau. Di masa lalu, sepaktakraw adalah olahraga yang sangat diandalkan Riau di iven apapun, termasuk PON. Sayangnya, beberapa tahun terakhir prestasi tersebut seolah menurun drastis. Untuk sekelas PON, di bagian putra, emas terakhir didapat di PON 2000 Jatim. Sedang bagian putri, emas terakhir di PON 2008 Kaltim. Setelah itu, Riau selalu gagal meraih emas di PON, termasuk saat PON 2012 saat jadi tuan rumah.
Di PON 2017 Jabar, Riau nyaris membawa pulang tiga emas. Sayangnya, di final beregu putra kalah dari Gorontalo. Kemudian, di bagian putri, dua final (beregu dan double event team) yang didapat juga gagal meraih emas. Semuanya kalah dari tuan rumah Jabar. Saat itu, kondisinya memang agak aneh saat final melawan tuan rumah. Saat final beregu, wasit seperti berpihak ke tuan rumah.
Saat para pemain putri Riau berada di atas angin di set ketiga regu ketiga, tiba-tiba wasit mempermasalahkan kalung dan gelang yang dipakai pemain Riau. Padahal dari awal tak ada satu pun pemain di iven itu yang ditegur wasit gara-gara memakai kalung dan gelang. Si wasit sempat bertanya dengan bahasa yang memojokkan: "Kalung apa itu? Jimat ya?" Setelah insiden itu, para pemain putri down. Mereka tak bisa mengembangkan permainan lagi dan akhirnya kalah 1-2 secara keseluruhan.
Namun, itu riak-riak dalam sebuah permainan. Pada urgensinya, Riau yang memiliki sejarah menjulang di cabang ini, harus bekerja keras mengembalikan kejayaan tersebut. Caranya adalah memperbaiki kinerja sektor teknis dan sistem kepelatihan, memperketat disiplin pemain, dan melibatkan sport science. Tiga hal ini mutlak dilakukan. Sebagai induk cabor, KONI Riau harus bisa 'menekan' pengurus PSTI Riau. Sebab, untuk berprestasi lebih baik lagi, seluruh komponen (pemain dan pelatih) sudah mendapatkan dana pembinaan sebagai bekal mereka untuk berlatih dengan keras. PSTI Riau juga harus memberi ruang kepada para pemain tersebut untuk memperlihatkan hasil latihan, yakni mengirim ke kejuaraan-kejuaraan level tinggi yang diadakan PB PSTI. Hal ini nanti bisa menjadi acuan apakah emas yang dibidik di PON 2020 Papua nanti layak didapatkan.
Soal sport science, hampir semua daerah yang kini kemajuannya melampaui Riau, sudah memakainya. Gorontalo, Sulsel, Jatim, Jateng, atau Jabar, sudah menggunakan sport science sebagai bagian penting dalam latihan dan pembinaan. Pelatih putra Gorontalo yang kini menangani timnas Asian Games, Asry Syam, menjelaskan, dalam perkembangan olahraga modern, sport science adalah wajib. Sebab, dari sana bisa diukur kekuatan sendiri dan kekuatan lawan yang akan dihadapi. Asry tak hanya bicara. Dia sudah membuktikan kesuksesan Gorontalo merebut emas putra di dua PON terakhir.
Dengan 10 emas (5 putra dan 5 putri) yang akan diperebutkan, Riau bisa menjadikan sepaktakraw yang merupakan cabor asli milik tanah Melayu ini sebagai tambang emas. Sebelumnya, sepaktakraw hanya memperebutkan 8 emas. Kini ada satu nomor tambahan, yakni quadrant (4 vs 4) yang sudah dipertandingkan di SEA Games 2017 lalu di Malaysia. Di Kejurnas Palu 2017 lalu dan di Liga Mahasiswa yang diselenggarakan Universitas Negri Jakarta (UNJ), quadrant juga dipertandingkan.
Kini, semuanya terpulang kepada PSTI Riau dan KONI Riau. Dengan gagalnya Rizanov Kurniawan, Mala Endah Sari, dan Bratha Kusuma menembus tim utama timnas untuk Asian Games 2018 saat seleksi di Sukabumi beberapa waktu lalu, harus menjadi catatan penting, bahwa ada hal yang perlu diperbaiki.
Satu hal lagi, jangan lupakan pembibitan dan regenerasi. Pemain-pemain muda seperti Muhammad Hafidz, Andri Ramadhan, Dion Pramudana dll yang kini sudah lulus dari PPLP, harus dipantau terus untuk memberi persaingan dengan para seniornya. Dengan begitu akan memacu senior-junior untuk bersaing secara fair. Dengan hanya mempersiapkan 24 pemain (putra dan putri) dan memperebutkan 10 emas, ini lebih berpotensi ketimbang cabor beregu lainnya (mohon maaf, bukan mengecilkan arti mereka) seperti bolavoli (24 pemain putra-putri, 2 emas), sepakbola (minimal 18 pemain, 1 emas), bola basket (minimal 20 pemain putra-putri, 2 emas) dan cabang beregu lainnya.
Sekali lagi, 10 emas yang dipertandingkan itu bisa kita dapatkan (baik sebagian atau semuanya) jika kita bekerja keras untuk mendapatkannya.***