LUKA politik masa lalu yang berhubungan dengan pemberontakan komunis yang gagal (G 30 S/PKI), masih menjadi tema favorit bagi sebagian pengarang Indonesia di masa kini. Bukan hanya oleh mereka yang pernah mengalaminya, tetapi juga oleh generasi terbaru yang tak pernah mengalaminya secara langsung, dan hanya mendapatkan cerita dari buku sejarah maupun dari orang tua mereka.
Dengan sudut pandang yang agak berbeda, Ayu Utami menulis novel Manjali dan Cakrabirawa (2010) sebagai lanjutan dari Bilangan Fu (2008). Dalam novel setebal 252 halaman tersebut, Ayu menyebutnya sebagai novel “spiritualisme kritis”, yang juga ditulis di sampul belakang Bilangan Fu. Dibanding dua novel yang ditulisnya sebelum kedua novel ini, Saman dan Larung, dua novel ini terasa lebih cair, baik dari sisi cerita maupun penceritaannya. Bahkan, jika tidak dijejali dengan banyak data sejarah dan njilmetnya dunia arkeologi, kedua novel tersebut seperti novel populer kebanyakan dengan cerita cinta segi tiga ala anak remaja.
Dalam Saman (pemenang Sayembara Roman DKJ 1998) dan Larung, Ayu secara baik menggambarkan dunia para aktivis yang secara politis tertekan saat Orde Baru dengan menarik cerita dari tokoh Laila, Cok, Yasmin, dan tentang seorang (calon) pastor bernama Wisanggeni, yang dikemudian hari mengubah identitasnya menjadi Saman (dalam Saman). Sedang dalam Larung, inti cerita dan tokohnya tetap mereka, plus seorang aktivis “baru” bernama Larung.
Dalam dua novel awal itu, Ayu mengeksploitasi perlawanan gender dengan aroma seksualitas yang memang agak vulgar. Sejak Saman inilah, dunia prosa Indonesia mengenal istilah “sastra selangkangan” yang kemudian diteruskan dengan istilah “sastrawangi”. Ini terjadi karena kemunculan Ayu kemudian diikuti para sastrawan perempuan yang sering dianggap lebih menonjolkan ”keperempuanannya” ketimbang estetika. Sempat terjadi polemik berkepanjangan antara yang suka dan tidak suka, antara yang mendukung dan menyerang. Namun di luar itu --harus diakui-- Saman juga menjadi pemantik kebangkitan dunia sastra Indonesia yang selama ini seperti menyepi di kuburan, menjadi hingar-bingar. Saman sukses secara estetika (dengan asumsi mendapatkan banyak pengakuan dan penghargaan) dan secara ekonomis (dicetak ulang puluhan kali dan menghasilkan uang yang sangat besar). Sebelum Saman, tidak ada novel asli Indonesia yang laris seperti itu dan memberikan keuntungan ekonomis yang luar biasa. Hanya Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman el Shirazy) dan tetralogi Laskar Pelangi (Andrea Hirata) yang berhasil menyamainya, atau melampauinya.
Manjali dan Cakrabirawa berkisah tentang petualangan arkeologis dengan kisah cinta segitiga antara Marja Manjali dengan Parang Jati dan Sandi Yuda (kisah ini sejak awal sudah ditulis dalam Bilangan Fu). Marja adalah gadis Jakarta berusia 19 tahun, yang sedang studi di sebuah universitas di Bandung, tempat di mana Jati dan Yuda studi di sana. Yuda kekasih resmi Marja, sedang Jati adalah cinta hatinya, kekasih “tak resmi” yang dalam banyak hal memiliki perbedaan dengan Yuda. Ketiganya, sebenarnya adalah sahabat dekat.
Jati dan Yuda sama-sama seorang pemanjat tebing, dan Marja berada di antara mereka. Secara fisik, Marja adalah milik Yuda (dalam beberapa penggambaran, Ayu menuliskan bagaimana petualangan seks keduanya yang sangat bebas dan liar, termasuk di toilet sebuah kereta api), tetapi Marja merasa dia menambatkan hatinya pada Jati, lelaki yang cenderung pendiam, berpikir sebelum bicara, memiliki kemampuan logika dan spiritual sama baiknya, anak angkat seorang guru spiritual bernama Suhubudi.
Jati dan Marja yang sedang liburan, mengikuti seorang arkeolog asal Prancis, Jaques, dalam sebuah penggalian candi di selatan Jawa (tidak disebutkan nama tempatnya). Dari sini, cerita mengalir dan berkaitkelindan dengan banyak hal, mulai dari mistik, masa lalu seseorang, dan banyak hal lainnya. Kita dibawa dalam sebuah rongga sejarah lewat pemahaman artefak. Ayu banyak memaparkan tentang legenda Calon Arang, sebuah legenda yang berkembang dalam masyarakat Bali zaman Kerajaan Kahuripan, hingga misteri pembunuhan 7 jenderal dalam kudeta gagal 1965 yang dilakukan pasukan khusus pengawal presiden, Cakrabirawa.
Penggalian candi --lebih tepatnya makam-- yang diyakini makam Calon Arang (Calwanarang), secara kebetulan menghubungkan banyak misteri yang muncul kemudian. Bukan hanya “pengkhianatan” Marja yang selalu berdua dengan Jati --dalam novel ini, Yuda pergi ke Bandung dan menjadi mitra latihan militer yang membuatnya berkenalan dengan Musa Wanara, seorang perwira yang sangat suka dengan hal-hal berbau klenik-- tetapi juga hubungan-hubungan spritual antara candi dengan banyak hal, termasuk seorang wanita tua yang tinggal di hutan jati bernama Murni. Dia mantan anggota Gerwani, yang saat pembersihan PKI dijebloskan ke sel selama sepuluh tahun dalam keadaan hamil, dan menjadi pelampiasan seksual para tentara --mirip salah satu karakter dalam The House of The Spirits-nya Isabel Allende. Sementara suaminya, Sarwengi, adalah anggota pasukan Cakrabirawa yang ditembak mati secara misterius di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, namun kuburannya masih misterius.
Dalam makam Calon Arang tersebut ditemukan sebuah lempengan emas yang kemudian diyakini sebagai mantra Calon Arang, yakni Bhairawa Cakra, sebuah mantra yang selama ini dicari Musa --ada sobekan lambang Cakrabirawa di dompet Musa, padahal dia seorang tentara, yang dididik untuk membenci segala yang berhubungan dengan komunisme. Musa juga akhirnya --bersama Yuda-- yang merampok petugas Dinas Purbakala yang akan membawa temuan di makam Calon Arang itu ke kota. Tujuan utamanya adalah lempengan emas bertuliskan mantra itu. Namun, kurang puas, Musa kemudian datang ke makam, dan terperosok dalam lubang yang membuatnya menjadi sakit aneh, seperti kesurupan.
Semuanya seperti kebetulan --salah satu kelemahan novel ini adalah tertalu banyaknya faktor kebetulan meski sudah dibingkai dengan teka-teki dan misteri-- ketika kemudian diketahui bahwa Musa adalah anak Murni dan Sarwengi yang diambil oleh seseorang (Samadiman) beberapa saat setelah dilahirkan di penjara. Hanya Samadiman yang tahu di mana kuburan Sarwengi, namun lelaki teman Suhubudi itu telah meninggal dan hanya meninggalkan surat yang penuh misteri. Samadiman juga sebenarnya yang paling tahu bahwa bayi itu kelak menjadi seorang Musa.
Banyak lubang yang ditinggalkan oleh Ayu dalam novel ini, selain penyelesaian akhir yang terkesan klise. Ayu menjadikan Marja yang selama ini anak manja dalam kehidupan bebas ala Jakarta, sebagai tokoh sentral yang memecahkan misteri dengan analisanya. Alasannya, Marja menjadi banyak tahu karena dekat dengan Jati, lelaki yang banyak tahu tentang banyak hal.
Jika sudah membaca Bilangan Fu sebelumnya, kita memang akan dengan mudah memahami karakter Marja, Jati, dan Yuda. Tetapi bagi yang belum, Manjali dan Cakrabirawa ini juga sebagai sebuah novel mandiri yang bisa terbebas dari Bilangan Fu, meski di sampul depan ditulis sebagai “Seri Bilangan Fu”.
Namun, yang khas dari Ayu Utami adalah pada penggambaran seksualnya yang tak berubah dari novel-novel sebelumnya, meski dibanding Saman dan Larung, di dalam novel ini terlihat lebih halus, meski tetap banal dan liar.***