HARY B KORIUN

Ibra (2)

Perca | Minggu, 02 Juli 2023 - 11:46 WIB

Ibra (2)
Hary B Koriun (RIAU POS)

IBRAHIM Datuk Tan Malaka  memang berada di seberang ideologi Hatta itu. Bahkan, Ibra yakin, penggabungan Pan-Islamisme –sebuah gerakan negara-negara Islam di Timur Tengah yang dianggap salah satu musuh utama komunisme oleh Stalin (dan ini yang membedakan konsep komunisme Ibra dengan Stalin)--  akan membuat Indonesia menjadi negara yang tangguh dalam segala bidang, termasuk ekonomi. Ibra paham dengan konsep Islam. Dia anak yang rajin mengaji dan salat sejak kecil, dan rajin membaca terjemahan Alquran.

Pertarungan ideologi keduanya kemudian seperti menciptakan permusuhan abadi –plus dengan Sjahrir di kemudian hari. Hatta menganggap, di luar perbedaan ideologi, kebesaran nama Ibra di dunia pergerakan, memunculkan kesombongan dalam diri Ibra yang menganggap Hatta --juga Soekarno--  seperti anak kecil.  Setelah pertemuan di rumah Darsono tersebut, keduanya seperti berada di jalan yang memang jauh berbeda. Ini ditambah dengan kejadian setelah pemberontakan PKI yang gagal tahun 1926-1927 di Banten dan Silungkang (Sumbar) yang membuat Belanda melakukan tindakan represif terhadap kaum pergerakan.


Di Amsterdam 1927,  Hatta meminta tokoh-tokoh komunis menyerahkan kepemimpinan revolusi kepada kaum nasionalis, dalam hal ini salah satunya kepada Hatta dkk. Semaun, salah satu pentolah PKI, teken. Tapi Ibra menolak. Hatta menganggap penolakan itu sebagai sentimen pribadi kepadanya. Padahal, Ibra hanya bersikukuh, bahwa pimpinan revolusi harus dipegang orang komunis. Dalam pandangan Ibra, banyak orang nasionalis yang lembek. Berbeda dengan orang-orang komunis yang keras tanpa kompromi terhadap kolonialisme Belanda.

Pada 23 September 1945, sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo. Dalam rapat tersebut, Ibra ikut hadir. Meski berbeda pandangan, Hatta menawari Ibra untuk ikut dalam pemerintahan. Ibra menolak dengan halus, tetapi makna yang sampai pada Hatta sangat berbeda. Ibra mengatakan bahwa dua orang sudah cukup dalam memimpin, yakni Soekarno dan Hatta. Dia akan membantu di belakang layar. Tetapi dalam penerimaan Hatta, sebagai senior, Ibra tak mau dipimpin oleh dua anak muda itu.

Yang menarik, dalam dialektika pemikiran para tokoh revolusi kemerdekaan Indonesia ketika itu, persilangan --kalau tak mau disebut pertikaian-- segitiga tiga tokoh asal Minangkabau, menjadi bab tersendiri. Ibra tak segaris dengan Hatta, Hatta tak segaris dengan Sjahrir, dan Sjahrir pun berbeda pandangan dan ideologi dengan Ibra.


Pada awal-awal kemerdekaan, Sjahrir menolak bergabung dengan pemerintahan karena tak yakin orang Indonesia menerima sepenuhnya Soekarno-Hatta. Setelah yakin Indonesia merdeka secara de jure,  Sjahrir baru ikut mempertahankan dengan cara yang berbeda. Seperti ditulis Adam Malik dalam Mengabdi Republik (1978), ketika Belanda kembali menghidupkan  pemerintahan jajahan, Sjahrir merapat ke kubu Inggris-Amerika sebagai “penguasa” baru Nusantara sebelum Belanda kembali. Sekutu memilih Sjahrir sebagai juru runding karena menganggap dia berpikiran modern, juga disukai Belanda.

Selanjutnya, Sjahrir mengampanyekan politik diplomasi yang dalam kampanyenya –seperti tertulis dalam Perjuangan Kita— Sjahrir dengan keras akan menyingkirkan semua yang berkolaborasi dengan Jepang. Sjahrir jelas menembak Soekarno, Hatta, dan Panglima Sudirman yang memimpin tentara Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), yang dibuat oleh Jepang.

Sjahrir benar-benar ingin memberikan hal yang berbeda ketimbang Soekarno-Hatta dan pemimpin lainnya. Saat dia menjadi perdana menteri, dia kemudian mengubah sistem politik presidensial menjadi parlementer. Sjahrir ingin memperlihatkan siapa dirinya yang tak bisa disamakan dengan Soekarno, Hatta dan yang lainnya. Dalam kondisi ini, dia bekerja sama dengan Amir Sjarifuddin. Hatta tidak tinggal diam, dia mengecam perubahan yang dilakukan Sjahrir. Katanya, “Kabinet Parlementer tak bisa bertanggangung jawan sesuai denga fungsinya,” tulisnya dalam Demokrasi Kita.

Jenderal Soedirman juga marah. Dia merapat ke Datuk Ibrahim yang memang dari awal menentang Sjahrir. Maka, pada penghujung tahun 1940-an muncul tiga Dwi Tunggal: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan Soedirman-Tan Malaka. Kata Soedirman: “Jika ulah Sjahrir itu makin mengancam persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijaksanaan sendiri,” ujar Soedirman kepada Adam Malik. Soedirman dan Ibrahim Tan Malaka kemudian mengumpulkan seluruh elemen politik di Purwokerto, Jawa Tengah, yang menghasilkan faksi Persatuan Perjuangan yang kongresnya diikuti 141 wakil dari berbagai kubu.

Dalam kondisi sengkarut itu, muncul orang Minangkabau lain, yakni Muhammad Yamin. Dia berada di blok Persatuan, tetapi sering berjalan dengan sikapnya sendiri. Dengan pendapat pribadinya, dia sering mengkritik politik diplomasi yang dianggap memihak Belanda yang dikembangkan Sjahrir. Sikap frontal Yamin ini sedikit banyak ikut mempengaruhi mundurnya Sjahrir dari kursi Perdana Menteri Indonesia pada 28 Februari 1946. Namun tak lama kemudian, Soekarno kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. 

Situasi semakin panas. Kubu Soedirman-Tan Malaka meradang. Mereka marah dan para pemuda Persatuan menembaki mobil Amir Sjarifuddin yang ketika itu adalah Menteri Pertahanan RI. Yang menarik, saling tangkap terjadi. Amir memerintahkan tentara menangkap Ibrahim Tan Malaka dan tokoh Persatuan lainnya. Soedirman kemudian memerintahkan pasukan PETA menangkap Sjahrir. Kedua kubu kemudian membebaskan sandera ketika Soekarno turun tangan. Sayangnya, konflik antarpimpinan pemerintahan yang baru dibentuk itu terus terjadi, meski Ibra mati terbunuh yang ditengarai oleh pasukan Soekotjo pada Februari 1946 di Kediri.

Sebagai seorang Marxis yang sepanjang hidupnya berjuang dengan kesepiannya, Ibrahim Tan Malaka adalah potret revolusioner yang merakyat, yang dalam kesehariannya hanya memikirkan rakyatnya yang ditindas Belanda yang dibantu orang-orang dari bangsanya sendiri.***
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook