Adanya pemberian pemberian izin atas kegiatan belajar tatap muka di sekolah pada semester genap tahun ajaran 2020/2021 pada Januari 2021 oleh pemerintah yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Sabtu (21/11-2021) mendapat respon positif dari guru. Kendatipun, penyesuaian kebijakan memberi izin ini tetap pada kewenangan pemerintah daerah (pemda) untuk memutuskannya.
Laporan: Deslina (Pekanbaru)
Rodiah, guru Sekolah Dasar di Kecamatan Tampan Pekanbaru ini mengatakan secara psikologis belajar tatap muka itu pasti akan lebih baik bagi guru dan anak didik. Karena pengajaran jarak jauh selama pademi Covid-19 diakuinya tetap tak bisa maksimal. Bahkan ibu dari empat anak ini juga merasakan agak suntuk mengajar tanpa ada murid dihadapannya.
Guru PNS yang sudah mengajar 14 tahun ini mengatakan,sistem belajar daring ini juga menimbulkan dilema bagi dirinya dan rekan seprofesinya dalam menentukan nilai anak didik.
"Kami para guru-guru saat ini binggung untuk menentukan nilai anak-anak karena nilai ulangannya umumnya dapat 100 hanya empatatau lima orang saja yang dapat/0 90, bahkan yang nilainya 80 hanya 1 orang. Apa nilai itu yang harus kami tuliskan di rapor nanti", ungkapnya.
Memang bagi guru-guru sekolah swasta ada juga yang mengambil kebijakan dengan mendatangkan siswa saat ujian saja selama 1 jam hanya untuk melakukan ujian. Tapi menurut Rodiah untuk sekolah negeri tentunya mereka harus mengikuti kebijakan dinas pendidikan. Sejak awal covid 19 Dinas Pendidikan kota Pekanbaru tidak membenarkan sekolah untuk mendatangkan siswa mengingat kota Pekanbaru masih berada dalam zona merah.
Diakuinya, ada pertimbangan yang diambil oleh sesama guru, misalnya dengan melihat nilai anak-anak pada kelas sebelumnya, sebagai perbandingan. Namun, kondisi ini bagi Rodiah yang mengajar di kelas 1 cukup membuatnya bingung. Mengingat mulai awal tahun ajaran, dia sama sekali tidak pernah bertemu dengan muridnya, kecuali melalui video call.
Bahkan untuk mengetahui kemampuan murid bisa membaca, itupun melalui video dengan durasi singkat yang mereka kirim .Yang tidak kalah rumit juga saat menilai latihan siswa. Setelah membuat sistem pembelajaran melalui classroom ternyata bagi kelas 1 mereka lebih bersemangat kalau melihat buku latihannya dinilai langsung oleh gurunya.
"Beberapa orang tua mengatakan kalau anaknya protes kenapa buku latihannya tidak ada nilainya", ujarnya.
Rodiah mengatakan dirinya cukup beruntung karena dikelasnya semua orang tua memiliki WhatsApp jadi semua orang tua sangat tanggap jika ada tugas ataupun ulangan harian dan Penilaian Tengah Semester diadakan. Ada rekan gurunya yang mengeluhkan bagi anak muridnya yang orang tuanya tidak memiliki android, mereka sama sekali tidak pernah membuat tugas.
"Sudah dihubungi handphonenya tapi orang tuanya tidak mengangkat, lantas apa nilai yang mau ditulis di rapornya nanti" jelasnya.
Kondisi mengajar daring yang cukup lama selama pandemi ini diakui Rodiah, makin menurunkan motivasi anak dalam belajar, dan susahnya manajemen waktu. Bahkan sebagai orang tua juga yang memiliki 3 anak putra yang duduk di bangku sekolah dasar, dan satu putri yang duduk di Sekolah Menengah Pertama, dia dapat merasakan betapa repotnya dalam mengatur manajemen waktu dalam proses belajar daring ini.
" Kalau proses belajar tatap muka, guru benar-benar fokus menghadapi murid dalam kelas, begitu sampai di sekolah. Tapi, kalau di rumah, pikiran pasti agak terbagi juga, sebagai orang tuanya juga harus mendampingi anak belajar daring. Mungkin kondisi ini, hanya sebagian kecil guru yang mengalami, tapi bagaimanapun juga, kalau kita mau jujur secara psikologis, belajar daring terlalu tentu tidak nyaman bagi anak maupun orang tua,’’ urainya.
Karena menurut Rodiah, proses pembelajaran di sekolah bukan hanya sekadar pembelajaran akademik semata, tapi juga mental dan spritual anak. Hubungan interaksi antara guru dan anak selama proses belajar tatap muka, membuat guru dan anak saling mengenal.
’’Guru menerima kondisi anak yang berbeda satu sama lain, begitu juga anak memahami bagaimana harus berprilaku selama di sekolah,’’ jelasnya.
Intinya, Rodiah menyambut baik dimulainya kebijakan pembelajaran tatap muka pada Januari 2021, walaupun pandemi Covid-19 belum hilang.
"Saya, dan guru-guru di sekolah kami menyambut baik kebijakan ini. Pokoknya, Alhamdulillah. Cuma kami berharap, ada kerjasama juga antara orang tua murid dalam penerapan prokes kesehatan. Membekali anak-anaknya dengan masker sejak dari rumah, dan kalau bisa membekali mereka juga dengan hand sanitizer, walaupun prokes 3M di sekolah diberlakukan secara ketat,’’tambahnya.
Hanya saja, dibalik rasa senang menyambut kebijakan itu, Rodiah mengakui ada sekelumit kekuatiran juga, terutama pada orang tua murid yang menjemput anaknya ke sekolah. Mengingat adanya kebijakan sekolah orang tua/wali yang menjemput anaknya di sekolah sebelum bubar sekolah, justru akan memicu kerumunan.
"Kalau murid di SD itu jumlahnya sekitar 300 orang saja, bisa dibayangkan akan ada kerumunan orang tua yang menunggu di dibalik pagar sekolah. Tapi, saya berharap, persoalan ini sudah menjadi catatan juga bagi pembuat kebijakan bagaimana pengaturan nantinya,"jelas dia.
Apalagi mengingat kebijakan belajar tatap muka ini menurut Rodiah, belum tentu serta merta berlaku penuh pada awal Januari 2021 ini di semua sekolah. Mengutip penjelasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, ada beberapa pihak juga yang menentukan apakah sekolah akan dibuka atau tidak, yaitu kepala sekolah yang bersangkutan dan perwakilan orang tua murid atau lewat komite sekolah.
“Pokoknya kalau 3 pihak ini tidak mengizinkan, ya tidak boleh. Kalau misal setuju semua, ya sekolah boleh tatap muka. Jadi harus ada persetujuan ketiga pihak itu. Kalau guru kelas, tinggal menjalankan kebijakan saja,” terang Rodiah tertawa kecil.
Editor: M Ali Nurman