Sebagai seorang guru, penulis harus melaksanakan lima tupoksi. Tugas pokok tersebut merupakan kewajiban, sesuatu yang harus ditunaikan, dan tidak boleh dilalaikan dengan alasan apa pun. Tugas ini tentu saja menjadi pembeda profesi guru dengan profesi lainnya, yaitu kegiatan merencanakan pembelajaran, mulai dari menyusun silabus dan seterusnya yang ditunaikan pada awal tahun pelajaran.
Melaksanakan kegiatan pembelajaran, rutin dilakukan sesuai jadwal pelajaran yang disusun. Penulis berusaha tidak meninggalkan kelas kecuali ada hal mendesak yang tidak bisa ditinggalkan. Melakukan evaluasi penulis laksanakan setelah satu KD tuntas diajarkan. Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan tindak lanjut penilaian dengan melakukan kegiatan pengayaan dan remedial. Yang terakhir, tentu saja penulis juga membimbing siswa.
Kegiatan merencanakan, melaksanakan pembelajaran, dan lain-lain hanya perkara biasa, dilakukan oleh semua guru tanpa kecuali. Tidak ada hal yang istimewa jika kelima tugas tersebut sudah dilakukan. Malah, akan menjadi aib jika guru abai pada tugas pokoknya. Tidak menjalankan tugas yang telah dibebankan, artinya telah menghianati jabatannya. Itu gelar ekstrim yang sepatutnya disematkan kepada guru yang malas dan lalai melaksanakan tugas rutinnya.
Di samping menguasai dan melaksanakan tugas pokoknya, guru juga harus memiliki kompetensi. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki adalah kompetensi kepribadian. Jika diungkapkan dengan bahasa yang lebih sederhana, beberapa kompetensi kepribadian yang harus dikuasai oleh seorang guru adalahberiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya kepada diri sendiri, tenggang rasa dan toleran, bersikap terbuka dan demokratis, sabar dalam menjalani profesi keguruannya, mengembangkan diri bagi kemajuan profesinya, memahami tujuan pendidikan, mampu menjalin hubungan insani, memahami kelebihan dan kekurangan diri, dan kreatif serta inovatif dalam berkarya.
Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan perilaku pribadi guru itu sendiri yang kelak harus memiliki nilai-nilai luhur sehingga terpancar dalam perilaku sehari-hari. Hal ini dengan sendirinya berkaitan dengan falsafah hidup yang mengharapkan guru menjadi model manusia yang memiliki nilai-nilai luhur. Berbicara tentang model, sejatinya guru adalah sosok yang bisa digugu dan ditiru. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam sistem Amongnya yaitu guru harus Ing ngarso sunghtulodo, Ing madyo mangun karso, dan Tut wuri handayani.
Guru bukan hanya pengajar, pelatih, dan pembimbing, akan tetapi juga sebagai cermin tempat siswa dapat berkaca. Dalam relasi interpersonal antaraguru dan siswa tercipta situasi didik yang memungkinkan siswa dapat belajar menerapkan nilai-nilai yang menjadi contoh dan memberi contoh. Guru mampu menjadi orang yang mengerti diri siswa dengan segala problematikanya. Guru juga harus menjaga wibawa sehingga siswa segan terhadapnya. Hakikat guru adalah sosok yang digugu dan ditiru.
Ketika kita memutuskan untuk menjadi seorang guru, harus benar-benar disadari bahwa semua yang ada pada diri guru akan menjadi contoh bagi siswa. Masih berlaku pepatah yang berbunyi ”Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Untuk itu, selalulah berbenah diri untuk meningkatkan kepribadian yang elok sehingga pantas menjadi cermin bagi siswa. Seorang guru tidak hanya mumpuni secara keilmuan, tetapi juga harus bisa menjadi teladan.***
Sri Wahyuni SPd, Guru SMPN 1 Bathin Solapan