Lusa, Seminar Internasional Alam Melayu: Sejarah, Warisan, dan Perjuangan Identitas

Pendidikan | Kamis, 01 September 2022 - 20:33 WIB

Lusa, Seminar Internasional Alam Melayu: Sejarah, Warisan, dan Perjuangan Identitas
Rida K Liamsi (ISTIMEWA)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Setelah sempat tertunda dua tahun akibat pandemi Covid-19, Yayasan Abdurrab, Sabtu (3/9) lusa akan mengadakan Seminar Internasional Alam Melayu: Sejarah, Warisan dan Perjuangan Identitas. Seminar yang dilaksanakan di Rumah Adat Raja Ahmad Engku Haji Tua bin Raja Haji Fi Sabilillah Riau Abdurrab Malay Heritage, Kampus 2 Universitas Abdurrab Jalan Bakti Pekanbaru ini menghadirkan pembicara dari rantau Alam Melayu; Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Rida K Liamsi, tokoh dan budayawan Melayu Riau, Dr Syamsudin Arif MA, peneliti INSISTS Indonesia, dan dosen Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor, En M Syukri Rosli MPhil dari Akademi Jawi Malaysia, sebuah lembaga yang konsen dalam pelestarian khazanah intelektual dan budaya Alam Melayu, dan En Mahroso Doloh MPd, budayawan Melayu Pattani Thailand.


Dosen Sejarah Islam dan Alam Melayu, Universitas Abdurrab Khairul Ashdiq Lc MHSc PhD (Cand) menjelaskan, ada tiga poin yang menjadi dasar pemikiran seminar. Pertama, sebagai ingatan dan ajakan untuk kembali menggali khazanah peradaban di alam Melayu yang semakin hari terlindas perkembangan zaman teknologi dan informasi. Kemudian menjadikan alternatif dari masifnya budaya media sosial yang pula telah menjalar sampai ke Provinsi Riau yang tidak saja bercanggah dengan adat dan budaya orang Melayu juga prinsip dalam agama Islam.

"Bahkan, ada sebuah ironi banyak pihak mungkin tak menyadari bahwa tempat wisata yang kononnya menampilkan warisan Asia malah tidak dijumpai rumah adat warisan bangsa Melayu di sana. Bagaimana dahulu proses perizinan tempat tersebut kenapa warisan Melayu tidak ada dibuat, apakah alam Melayu ini bukan di Asia? Apakah sekadar menimbang secara ekonomi saja kemudian menutup mata bahwa warisan bangsa sendiri luput? Banyak tanya kita akan bermunculan," paparnya.

Kedua, perlawanan terhadap arus sekularisme yang telah merasuk cukup dalam di tubuh bangsa di semua lini; politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Budaya dan peradaban adalah urusan duniawi tak perlu dicampurkan dengan prinsip agama yang bersifat individu, begitu patronnya. Budaya Melayu hanya tinggal dalam pakaian, seremonial adat dan sedikit dalam karya sastra. Kita tak merasa bahwa memakai pakaian Melayu kemudian menjalankan beberapa adat yang elok hanya ritual budaya saja bukan implementasi keimanan dan prinsip agama.

Sebaliknya, sebagian masyarakat menganggap hina kepada budaya dan kearifan lokal yang elok hanya karena nabi tidak mencontohkan secara literal atau tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadistnya. Begitulah keadaan terbelahnya masyarakat kita hari ini akibat sekularisme, memisahkan kehidupan dunia dengan akhirat.

Ketiga, menjawab masifnya gerakan nativisasi yang semakin gencar belakangan ini mengajak kembali kepada kebudayaan Hindu Budha dimana dibalik itu terselip "perang" terhadap warisan peradaban Islam di Alam Melayu. Prof Syed Naquib Al Attas dalam bukunya Islam dalam "Sejarah dan Kebudayaan Melayu" (1972) puluhan tahun silam telah menegaskan bahwa asas yang paling mengakar dalam kebudayaan penduduk di alam Melayu bukanlah Hindu Budha melainkan peradaban Islam. Peradaban Hindu Budha adalah peradaban politik bersifat elitis, di mana tidak mengakar ke seluruh lapisan penduduk di Alam Melayu.

"Kami  menjemput Tuan Puan, Bapak Ibu dan pembaca secara umum menghadiri acara Seminar Internasional Alam Melayu: Sejarah, Warisan dan Perjuangan Identitas ini," ajaknya.

 

Laporan: Lismar Sumirat

Editor: Edwar Yaman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook