MUSEUM Budaya dan Sejarah Balairung Sri Kabupaten Siak atau yang dulunya lebih dikenal sebagai Balai Kerapatan Tinggi merupakan salah satu cagar budaya yang ada di Kabupaten Siak.
Ditetapkan sebagai museum melalui SK Bupati Siak No. 04/HK/KPTS/2014 tentang Penetapan Penggunaan Balairung Sri sebagai museum budaya dan sejarah Kabupaten Siak. Terletak di tengah Kota Siak, tak jauh dari Istana Asserayah Al Hasyimiah (Istana Siak), dan Masjid Syahabuddin.
Bangunan ini pada zaman dahulunya difungsikan sebagai Gedung Parlemen Pilar 4 Suku Kesultanan dan Pengadilan, untuk memutuskan suatu perkara atau tempat bersidang dan sebagai tempat penobatan sultan.
Demikian dikatakan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Siak H Mahadar SPd MM melalui Pamong Budaya di Museum Budaya dan Sejarah Balairung Sri, Nur Intan Asmara MPd.
Diterangkan Nur Intan Asmara, bangunan ini terdiri dua lantai, dahulunya selain di fungsikan untuk bersidang juga difungsikan sebagai kantor masa kesultanan.
‘’Ruang sidang berada di lantai 2 dan pada dinding-dindingnya memiliki banyak kaca seperti pada Istana Siak yang memiliki fungsi sebagai pemantul cahaya,’’ jelas Nur Intan Asmara.
Untuk sampai ke lantai 2 jika dari tepi sungai, menggunakan anak tangga. Anak tangga yang lebar dapat dijadikan lokasi swafoto.
Sesampai di lantai 2, melihat ke arah dalam ruang sidang, ada pintu yang lebar, juga di kiri kanan ruangan juga ada pintu menghubungkan ke ruangan bagian sayap gedung, yang dibuat sebagai ruang tunggu selama proses sidang berlangsung.
Kursi-kursi kayu dengan jok rotan itu disusun berhadap-hadapan. Ada cermin-cermin besar ditempel di dinding. Malalui cermin-cermin itu, peserta sidang dapat saling melihat, mencermati setiap gerakan.
‘’Cermin-cermin itu seperti CCTV, bisa saling memantau setiap pergerakan seisi ruang sedang,’’ terang Nur Intan Asmara.
Setelah suatu perkara diputuskan, maka akan ada pihak yang dinyatakan bersalah dan tidak bersalah. Pihak yang dinyatakan tidak bersalah, akan turun dari lantai dua melalui tangga besi yang melingkar seperti pada Istana Siak. Sedangkan pihak yang dinyatakan bersalah akan turun melalui tangga kayu yang berada di sebelah kanan bangunan karena penjara sementara dahulunya berada di sebelah kanan bangunan tersebut.
‘’Kerajaan Siak merupakan kerajaan dengan perekonomian yang bagus, sehingga hidup rakyatnya sejahtera dan makmur, sehingga tindak kriminalitas di Siak sangat jarang terjadi,’’ ungkap Pamong Budaya Nur Intan Asmara.
Sejak pemerintahan Sultan Syarief Hasyim, penegakan hukum berpedoman kepada kitab Bab Al Qawaid, sebuah mahakarya, sebuah simbol kedigdayaan peradaban Melayu Raya.
Bab Al Qawaid ini adalah kitab undang-undang Kerajaan Siak yang berarti “Pintu Segala Pegangan” atau dalam arti lain sebagai Bab Aturan.
Bab Al Qawaid ini berisi hal-hal yang berkenaan dengan tugas-tugas sultan, wilayah jajahan (provinsi), hingga pada tingkat terbawah yaitu batin dan penghulu yang berpedoman kepada Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah.
‘’Untuk mengungkap kebenaran, Sultan Siak menggunakan kitab Bab Al Qawaid sebagai dasar hukum atau sebagai konstitusi,’’ Nur Intan Asmara.
Di dalamnya diatur tata hukum, tata adat istiadat, dan pembagian tugas setiap pemegang jabatan, baik orang besar kerajaan, para datuk, para bangsawan, batin, tuan qadi, kepala suku.
Di seberang gedung atau terpisahkan dengan Sungai Jantan merupakan wilayah para datuk-datuk. Di sana dahulunya bermukim Datuk Empat Suku, Datuk Tanah Datar, Datuk Pesisir, Datuk Lima Puluh dan Datuk Kampar.
Lebih ke atas lagi atau sekitar 3 kilometer dari wilayah Datuk Empat Suku, ada wilayah kolonial, di sana ada Tangsi Belanda, Landraad dan bangunan Kontroller.
Pada masanya, saat bersidang, para datuk akan menyeberang Sungai Jantan, karena pada kala itu, akses satu satunya adalah jalur sungai.
‘’Gedung Balai Kerapatan Tinggi memiliki arsitektur khas dengan pintu masuk dari sungai, sementara dari darat atau jalan raya, merupakan bagian belakang gedung,’’ ungkap Nur Intan Asmara.
Balai Kerapatan Tinggi sempat dijadikan Kantor DPRD Siak, sebab ketika itu Kabupaten Siak baru terbentuk, sebelumnya Kecamatan Siak berinduk ke Kabupaten Bengkalis.
‘’Kami membatasi aktivitas yang dapat merusak cagar budaya, karena sebagai besar bahan bakunya kayu,’’ kata Nur
Semua masih asli, termasuk lantainya yang terbuat dari marmer dan kayu yang kini tentu sulit didapatkan. Ruang belakang dibuat sebagai tempat pajangan koleksi.
Arsitektur bangunan Balai Kerapatan Tinggi Siak dikenal dengan sebutan Sangkar Burung Serindit dengan luas bangunan 30,8 x 30,2 meter persegi.
Bangunan ini terdiri dari 3 ruangan dan lantai bawah pun 3 ruangan. Bagian atas merupakan ruang persidangan dan ruang tunggu bagi masyarakat yang akan menjalani persidangan.
Bangunan Cagar Budaya ini sangat membanggakan, karena memiliki arsitektur yang unik dan patut dipelajari oleh banyak pihak, termasuk bagi para pelajar.
‘’Apa yang kini dimiliki museum, merupakan miniatur sejarah Kabupaten Siak,’’ sebut Nur Intan Asmara.
Penetapan sebagai Cagar Budaya Nasional Gedung Kerapatan Tinggi ini SK 2004, sebagai cagar budaya kabupaten SK pada 2017, dan ditetapkan sebagai Cagar Budaya Provinsi dengan SK pada 2022. Sehingga lengkap SK kabupaten, provinsi dan nasional, Gedung Kerapagan Tinggi ini, sebagai cagar budaya.
Sementara penetapan sebagai museum pada 2014, atau 10 tahun setelah ditetapkan sebagai cagar budaya.
‘’Koleksi terbesar kami adalah gedung museum itu sendiri yang merupakan cagar budaya ini,’’ sebut Nur Intan Asmara.
Sejak ditetapkan sebagai musem, Cagar Budaya Nasional ini, belum banyak yang kenal, termasuk sebagian warga Siak.
Tim masih terus melakukan inventarisir benda-benda bersejarah, seperti mesin menggiling karet, jala, dan peralatan lainnya.
‘’Kami masih menerima barang hibah dan barang-barang itu akan kami teliti dan akan dipajang sebagai koleksi,’’ ucap Nur Intan Asmara.
Setiap tahun museum ini selalu diadakan pameran temporer dengan tema yang berbeda-beda. Contohnya pada tahun lau pamerannya bertema Mata Pencaharian pada Masa Kesultanan Siak (pertanian dan perkebunan).
‘’Kami memamerkan peralatan berkebun pada masa lalu, dan peralatan kerja nelayan seperti lukah, pancing, perahu dan lainnya,’’ ucap Nur Intan Asmara.
Tahun ini tema pameran temporernya permainan tradisional pada zaman dahulu. Koleksi yang ditampilkan yaitu permainan yang dimainkan berpasangan, grup, indoor maupun outdoor. Contohnya seperti setatak, bakiak, kaki anggau, seletup, gasing, congklak, tarik upih, dan lain lain.
Tahun depan tema yang berbeda, direncanakan tentang kehidupan orang Tionghoa di Siak.
‘’Mereka akan membawa koleksi mereka untuk dipamerkan ke museum,’’ Sebut Nur Intan Asmara.
Tentu hal ini menjadi kabar baik, karena wilayah tempat tinggal orang Tionghoa itu saja sebagian merupakan cagar budaya.
Lebih jauh dijelaskan Nur Intan Asmara, musem juga dapat bantuan dari kementerian. Makanya ragam kegiatan digelar untuk menambah jumlah koleksi dan pengunjung.
Selain rutin melaksanakan pameran temporer, museum ini juga rutin mengadakan kegiatan diberi nama Belajar Bersama di Museum. Tujuan utamanya yaitu menjadikan museum ini sebagai tempat belajar bagi masyarakat luas.
Tema yang disajikan setiap tahun pada kegiatan ini berbeda-beda. Ada belajar tentang tenun Siak, tanjak, zapin istana, penanggulangan kebakaran, dan lain-lain.
Sasaran Umum,
Mahasiswa dan Pelajar
Tujuan utama kegiatan belajar bersama ini, mengenalkan museum ke publik agar kunjungan meningkat.
‘’Kami juga membuat pagelaran seni, bersyair, pantun, mendodoikan anak, gurindam, puisi, dan lainnya,’’ ungkap Nur Intan Asmara.
Untuk semakin mengenalkan museum ke kalangan pelajar, digelar juga kegiatan museum keliling, di mana tim dari museum akan turun ke kecamatan, ke sekolah-sekolah guna untuk memperkenalkan museum kepada semua pelajar dengan harapan mereka akan tertarik belajar dan berkunjung ke museum.
‘’Kami menjelaskan tentang museum, sehingga anak-anak ingin ke museum dan mengenal sejarah setiap benda, termasuk sejarah Kesultanan Siak,’’ ucap Nur Intan Asmara.(adv)