Warga Bertahan Duduki Lahan Negara

Pelalawan | Kamis, 30 Januari 2020 - 09:46 WIB

PELALAWAN (RIAUPOS.CO) -- Masyarakat yang tergabung dalam Koperasi Gondai Bersatu dan Sri Gumala Sakti di bawah binaan PT Peputra Supra Jaya (PSJ) terus bertahan di kebun sawit di Desa Gondai Kecamatan Langgam, Rabu (29/1). Kebun tersebut akan ditertibkan dan dipulihkan jadi kawasan hutan oleh tim Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, Rabu (29/1).

Tidak hanya membangun sejumlah tenda hingga mengadu kepada DPR RI sebagai upaya massa untuk menghalangi eksekusi tersebut, namun massa juga kembali memasang spanduk di sejumlah titik yang berisi tuntutan agar eksekusi putusan MA yang telah berlangsung selama 12 hari sejak 17 Januari lalu, dapat dibatalkan.  


"Ya, apapun yang akan terjadi, kami akan tetap terus mempertahankan tanah ulayat nenek moyang kami ini. Jika harus berkorban nyawa, kami siap mempertahankan tanah kami ini. Apalagi lahan ini telah kami tanam pohon kelapa sawit sebagai sumber penopang kehidupan kami,” terang Ketua Koperasi Gondai Bersatu Rodisi Lubis kepada Riau Pos, Rabu (29/1).

Dikatakannya, warga yang tergabung dalam KKPA PT PSJ yang merupakan rakyat jelata, jelas sangat kecewa atas upaya eksekusi tersebut. Pasalnya, dirinya menilai negara tidak bisa hadir di tengah penderitaan rakyat. Bahkan,  lagu Indonesia Raya dan Pancasila sudah tidak sesuai dengan maknanya.

"Terutama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan hiduplah tanahku hiduplah negeriku bangsaku rakyatku, semuanya kalimat ini seolah hanya sebuah alinia lagu yang tidak berarti bagi kami rakyat kecil ini. Untuk itu, kami berharap agar keluh kesah kami ini dapat didengarkan oleh Pemerintah Pusat dengan mencabut kebijakan putusan MA tersebut," paparnya.

Adapun tuntutannya yang disampaikan massa terhadap eksekusi tersebut, sambung Rodisi, yakni menolak putusan MA yang tidak adil dan bertentangan dengan kemanusiaan. Kemudian, menolak segala kezaliman dan arogansi yang terkait dengan proses hukum. Serta meminta perlindungan hukum kepada pihak terkait atas eksekusi yang telah dan akan dilakukan, karena warga memiliki hak dan kedudukan yang sama di mata hukum. Dan menolak eksekusi yang dilakukan oleh tim DLHK Riau.

"Selanjutnya, menolak kehadiran PT NWR di lahan milik masyarakat Desa Gondai Kecamatan Langgam. Serta menuntut ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan akibat eksekusi tersebut. Menuntut seluruh pihak terkait untuk keluar dari lahan milik masyarakat. Dan menuntut pengembalian seluruh lahan kepada masyarakat adat Batin Pelabi Gondai dan Batin Sungai Medang," tuturnya.

Di tempat terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPRD Pelalawan Carles SSos yang membidangi Perkebunan dan Kehutanan, meminta agar PT PSJ dapat bertanggung jawab atas putusan Makhamah Agung RI No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018. Di mana putusan MA tersebut memvonis perusahaan kelapa sawit ini telah melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan skala tertentu yang tidak memiliki usaha perkebunan.

Sedangkan pelaksanaan eksekusi yang telah dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Pelalawan sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku, dengan menyerahkan barang bukti berupa perkebunan sawit tanpa izin seluas 3323 Ha kepada Negara melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau.

Dan tentunya putusanini harus dihormati semua pihak karena telah mempunyai kekuatan tetap.

"Sebagai perusahaan yang memiliki badan hukum di bidang perkebunan, seharusnya sudah mengetahui areal tersebut merupakan kawasan hutan. Dengan demikian PT PSJ jangan membohongi masyarakat dan harus bertanggung jawab atas nasib masyarakat anggota plasma tersebut. Dan solusinya adalah pihak PT PSJ bertanggung jawab mengembalikan seluruh materi dan inmateri yang diderita masyarakat yang tergabung dalam koperasi tersebut," beber politikus PDIP Pelalawan tersebut.

Sementara itu Bupati Pelalawan, HM Harris menilai penebangan kebun sawit PT PSJ dan petani tidak etis secara adat. Karena menurutnya, di kebun sawit itu ada hak adat yang dimanfaatkan oleh masyarakat tempatan maupun masyarakat yang datang untuk hidup.

"Artinya, saya tidak mau mengomentari masalah hukumnya, tapi secara adat itu, sudah tidak pas. Pasalnya, lahan itu dikelola oleh adat sebagai tanah ulayat. Dan dengan adanya eksekusi tersebut, maka akan menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan sumber pendapatan, sehingga ang­ka kemiskinan kembali menjadi tinggi di Negeri Seiya Sekata. Kami berharap agar pemerintah pusat melalui Kementerian LHK dapat memberikan solusi terkait putusan MA tersebut," tutupnya.(amn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook