KOTA (RIAUPOS.CO) -- Riski, korban penganiayaan oleh pengasuhnya Irwan yang pada Maret 2019 lalu menyita perhatian masyarakat, kini kondisi fisik maupun mentalnya mulai membaik. Sejak kejadian tersebut hingga Kamis (20/6), Riski dirawat di Balai Rehabilitasi Sosial dan Anak yang Memerlukan Penanganan Khusus (BRSAMPK), Jalan Khayangan, Rumbai Pesisir.
Menurut keterangan Kepala Seksi Layanan Rehabilitasi Sosial Muhammad Toher, Riski sudah bisa menghitung, sudah tahu waktu seperti hari, jam dan tanggal. Ia juga bisa azan dan mau belajar mengaji. Selain itu, ia pun sudah bisa mandi sendiri, cuci baju sendiri, bersosialisasi dengan teman-temannya meski harus didampingi oleh pengasuh.
‘’Kami bangga melihat kondisinya sudah membaik. Bahkan luka yang ada di tubuhnya pun sudah sembuh dan bekasnya sudah samar,’’ katanya.
Meski demikian, akibat sakit yang dideritanya, Riski harus tetap menjalani pemeriksaan psikologis dari dokter dan pengecekan rutin dua pekan sekali ke RS Jiwa. ‘’Pemeriksaan dan pengecekan rutin itu akan tetap berlangsung sampai akhirnya dokter bilang untuk tidak diperiksa lagi,’’ imbuhnya.
Walau keadaannya membaik, namun hingga sekarang ini belum mendapatkan informasi keberadaan orangtua Riski. Maka dari itu, pihak BRSAMPK pun sedang berusaha berkomunikasi dengan pelaku yang sekarang ditahan terkait keberadaan orang tua maupun pihak keluarga lain dengan dibantu pihak kepolisian.
Sebab, Riski tidak tau keberadaan orangtuanya. Berbeda dengan keberadaan anak-anak lainnya yang di BRSAMPK. Oleh sebab itu, kami sedang mengupayakan pencarian. Karena, BRSAMPK hanya menampung selama enam bulan saja. Sementara Riski akan menginjak empat bulan perawatan.
‘’Jika dalam waktu enam bulan orang tua atau pun pihak keluarga belum juga ditemukan, langkahnya adalah mencari lembaga lain seperti panti sosial yang bisa menampung lama. Namun, diupayakan mencari orang tua atau keluarga terlebih dahulu,’’ terangnya.
Kemudian, jika memang tidak ada yang mau menampungnya, mau tidak mau Riski ditampung kembali di BRSAMPK. Katanya, waktu enam bulan di sini pun bukan hanya membimbingnya, namun juga mencari keluarga sesuai program kerja.
Jika dulu sebelum namanya menjadi BRSAMPK, target setiap tahunnya 140 anak. Untuk mencapai target segitu sangat mudah, dikarenakan biayanya gratis dan difasilitasi serta diberi pembinaan seperti menjahit, otomotif dan barber shop. Sementara untuk saat ini, katanya, hanya menunggu dari pihak terkait seperti Dinas Sosial, P2TP2A, polisi, jaksa, hakim dan lainnya.
‘’Sebelum lebaran terdapat 26 anak dan setelah lebaran yang dirawat di BRSAMPK hanya tinggal 13 yang dirawat dan dibina. Dominan laki-laki. Sekarang tinggal satu perempuan,’’ jelasnya.
Meski menurun, katanya, bukan suatu kegagalan melainkan prestasi. Terlebih, jika sudah tidak ada anak yang di sini lagi, itu yang dikatakan keberhasilan.
Sebelumnya, terdapat lima anak perempuan yang dirawat dan dibina. Namun, empat anak lainnya sudah bersama keluarganya. ‘’Di hari ini juga, kami mengantar atau memulangkan dua anak lain inisial S ke Dumai dan inisial P ke Duri dibawa ke pihak keluarga,’’ imbuhnya.
Lebih lanjut, untuk korban S dipulangkan ke Dinas Sosial Dumai yang kemudian dibawa ke panti sosial. Korban S adalah anak yang ditelantarkan keluarganya. Sedangkan korban P, langsung diantar ke anggota keluarganya tepatnya sang kakek yang sudah mencarinya sejak lama.
Dominan korban yang berada di BRSAMPK, menurut Toher, dari keluarga yang tidak peduli terhadap anaknya. Jika anak-anak korban kekerasan atau ditelantarkan, maka dibina selama enam bulan. Sementara jika anak-anak sebagai pelaku kejahatan maka dibina sesuai putusan pengadilan. ‘’Jika putusan pengadilan mengatakan satu tahun, maka satu tahun pula mereka di sini,’’ ucapnya.
Untuk wilayah Riau, ucapnya, daerah yang mengantar anaknya untuk dibina didominasi Pekanbaru, Siak dan Selatpanjang. Sementara BRSAMPK Riau menampung provinsi lain seperti Sumatera Barat, Kepulauan Riau dan Lampung.(*3)