(RIAUPOS.CO) -- Kurang dari sepekan lagi Pekanbaru akan berumur 235 tahun. Sebuah usia yang sudah sangat panjang untuk sebuah kota. Rencana-rencana pun sudah digagas dan dirancang Pemko Pekanbaru untuk memeriahkan hari ulang tahun ini. Salah satunya yang cukup fenomenal adalah rencana perlombaan perahu naga atau dragon boat. Lomba ini akan dilaksanakan di sepanjang aliran Sungai Siak. Rencana memeriahkan HUT Kota Pekanbaru ini tentu saja baik. Masyarakat bisa menyaksikan iven yang mungkin sebelumnya hanya bisa disaksikan di kawasan-kawasan lain di Riau. Yang fenomenal adalah di Sungai Kuantan yang umur ivennya sudah mencapai lebih dari satu abad. Iven pacu jalur yang fantastis itu. Ada lagi lomba pacu sampan di Buluh Cina, Kampar.
Tapi Pekanbaru? Belum ada momen-momen khusus seperti ini. Makanya, lomba perahu naga ini akan menjadi sebuah tonggak pancang baru bagi HUT Kota Pekanbaru. Boleh jadi, jika kegiatan ini sukses dilaksanakan mulai 21 Juni mendatang, hingga puncaknya pada 23 Juni 2019 yang menjadi tanggal HUT Pekanbaru, maka kegiatan ini akan menjadi agenda tahunan. Akan ada rutinitas baru bagi warga kota ini untuk bisa menikmati sebuah kegiatan yang semarak dan mengundang animo masyarakat. Akan bermunculan juga legenda-legenda perahu yang akan menjadi ikon kecamatan, perusahaan, atau kelompok masyarakat seperti halnya pacu jalur di Sungai Kuantan.
Apakah itu akan membuat warga Pekanbaru bahagia? Boleh jadi iya, tapi juga bisa jadi tidak. Seperti halnya pembangunan perkantoran Pemko Pekanbaru di Tenayan Raya. Boleh jadi Wali Kota Pekanbaru Dr Firdaus MT memandang tindakannya membangun perkantoran di salah satu ujung Pekanbaru yang nyaris tak tersentuh itu adalah tindakan yang visioner. Tindakan itu akan dikenang puluhan tahun kemudian. Itulah tanda visionernya.
Tapi untuk sekarang bagaimana? Agenda perkotaan di mana pun sebenarnya tak jauh berbeda. Masyarakat perkotaan memerlukan pelayanan umum yang nyaman seiring perkembangan zaman. Bukan hanya layanan pemerintahan seperti pengurusan izin usaha, pembayaran pajak dan lainnya, tapi juga pelayanan klasik perkotaan yakni masalah penanganan kemacetan, sampah, dan banjir.
Poin terakhir ini menjadi semakin hangat belakangan ini. Apalagi, menjelang HUT kota, terjadi sebuah banjir besar yang ironisnya malah menelan korban jiwa. Banjir pada Selasa (18/6) pagi itu menyeret seorang perempuan muda yang merupakan pengantin baru. Dia terpeleset dan masuk ke dalam parit di Jalan Lobak tepatnya penurunan depan Madrasah Aliyah (MA), Kelurahan Delima, Kecamatan Tampan sekitar pukul 04.30 WIB. Saat itu, korban bernama Yeni dengan sang suami, Anto hendak berangkat menuju ke Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II. Namun, di tengah perjalanan, mereka menjumpai adanya genangan air. Sang istri kemudian memutuskan turun dari sepeda motor dan memilih berjalan kaki. Ketika melewati genangan air, korban tergelincir dan terbawa arus parit. Suami korban berusaha mengejar istrinya yang hanyut terbawa arus tersebut tapi tidak berhasil.
Kejadian ini merupakan hal baru di Pekanbaru. Kalau sebelumnya Pekanbaru dikenal sebagai “kota berkuah”, sebagai bentuk plesetan dari “Kota Bertuah”, maka kini statusnya sudah berubah. Pekanbaru sudah menganak sungai, sudah mendanau. Hujan sebentar saja sudah dapat merendam rumah, menenggelamkan kendaraan. Apakah orang Pekanbaru harus kembali seperti di awal-awal dulu di tepian Sungai Siak, dengan dilengkapi rumah panggung dan sampan? Mungkin saja. Kota ini tidak siap menjadi kota metropolitan karena pemimpinnya tak siap mengantisipasi banjir-banjir perkotaan. Mungkin saja perahu naga yang disiapkan dalam HUT kota merupakan bentuk visioner pemimpin kota. Orang Pekanbaru harus kembali berperahu di masa depan, seperti halnya nenek moyang mereka di pinggir Sungai Siak, yang berumah panggung, dan siap selalu dengan perahu. Kita pun harus bersiap juga demikian.***