JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kementerian Agama (Kemenag) RI terlihat lambat dalam mengumumkan protokol kesehatan atau new normal di lingkungan pesantren. Padahal Kemendikbud sudah mengumumkan protokol untuk pendidikan umum, Senin (15/6) lalu. Selain itu di lapangan, pesantren sudah banyak yang menerima santrinya kembali.
Belum ada kejelasan alasan Kemenag tidak kunjung mengumumkan protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19 di pesantren. Saat dikonfirmasi kemarin (16/6), Menag Fachrul Razi hanya memberikan penjelasan pendek.
"Sudah siap (aturan protokolnya, red)," katanya kemarin.
Namun dia menambahkan Komisi VIII DPR yang membidangi urusan keagamaan menggelar rapat kerja dahulu dengan Kemenag. Rapat tersebut rencananya dijalankan pada Kamis (18/6). Fachrul meminta masyarakat menunggu selesai rapat Kemenag dengan DPR itu. Kabar tersebut diperkuat oleh Plt Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag Kamaruddin Amin. Dia mengatakan peraturan protokol kesehatan untuk pesantren kemungkinan disampaikan Kamis (18/6) atau Jumat (19/6).
Kamaruddin sebelumnya mengatakan Kemenag sudah menuntaskan pembahasan protokol kesehatan di lingkungan pesantren. Namun sampai kemarin dia belum bisa mengumbar perinciannya. Kamaruddin mengatakan protokol kesehatan di lingkungan pesantren berbeda dengan protokol serupa untuk pendidikan umum atau sekolah. Termasuk adanya ketentuan sekolah hanya boleh menjalankan pembelajaran tatap muka di daerah hijau saja. Untuk ketentuan operasional pesantren tidak sama persis dengan regulasi sekolah tersebut.
Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pesantren NU) Abdul Ghaffar Rozin mengatakan seharusnya Kemenag mengumumkan protokol kesehatan untuk pesantren tidak terlalu lama dengan rilis Kemendikbud.
"Makin lama (diumumkan, red), makin menimbulkan ketidakpastian," katanya.
Dia menegaskan harusnya Kemenag segera mengambil keputusan. Pria yang akrab disapa Gus Rozin itu mengatakan dalam kondisi seperti ini, Kemenag harus berani mengambil keputusan yang tidak populer. Baginya saat ini bukan waktu yang tepat untuk main-main. Gus Rozin mengakui bahwa banyak pesantren yang sudah menerima santri kembali setelah libur lebaran. Dan jumlahnya setiap hari terus bertambah.
Gus Rozin lantas menyampaikan harapan kepada pemerintah atau Kemenag untuk menawarkan konsep yang win-win solution. Baik dari pihak pemerintah maupun pesantren. Menurut dia kenormalan baru yang ditawarkan memang benar-benar didesain untuk pesantren. Kemudian memperhatikan tradisi dan sistem pendidikan yang sudah berjalan selama ini. Sehingga kebijakan yang keluar mampu menghindarkan pesantren dari bahaya wabah. Tetapi sekaligus memperhatikan realitas yang ada di pesantren.
Kemudian dia mengatakan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) menghormati kebijakan pesantren yang sudah menerima kembali santrinya. Karena kebijakan ini memang sepenuhnya otoritas kiai atau pengasuh pesantren. Dia menjelaskan RMI berharap supaya protokol karantina dan pengembalian santri ke pondok pesantren benar-benar dilaksanakan dengan konsisten.
RMI sebelumnya telah membuat masukan protokol kesehatan untuk pesantren. Di antaranya santri yang baru dating dan mau masuk pesantren wajib rapid test. Bagi yang non reaktif melakukan karantina mandiri dahulu di pesantren selama 14 hari. Sedangkan bagi yang reaktif dirujuk ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Gus Rozin juga menyampaikan pesantren yang sudah aktif kembali diharapkan memberikan pilihan kepada wali. Khususnya wali santri yang masih ragu untuk mengembalikan anaknya ke pesantren. "Perlu ada kelonggaran bagi santri untuk memilih belajar jarak jauh dari rumah," kata dia.
Pengamat pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah mengatakan sebaiknya santri tetap belajar dari rumah. Sebagai ketentuan protokol kesehatan di lingkungan pendidikan yang telah diumumkan Kemendikbud. Baginya pencegahan lebih baik ketimbang mengobati.
"Dikhawatirkan pesantren jadi klaster baru," tuturnya.
Namun bagi pesantren yang memaksakan membuka tatap muka, padahal tidak di zona hijau, harus bisa memastikan santri yang masuk sudah tes dan negatif Covid-19. Demikian juga dengan ustad dan seluruh staf pesantren lainnya. Kemudian lingkungan pesantren sudah didesain sesuai protokol kesehatan secara umum. Seperti mengakomodasi ketentuan jaga jarak di asrama, ruang kelas, masjid, kantin, dan lainnya.
Ketentuan lainnya santri, ustaz, staf, dan warga pesantren lainnya dilarang keluar kompleks pesantren. Selain itu orang luar juga dilarang masuk ke pesantren. Seluruh interaksi dan kegiatan di dalam pesantren harus selalu memperhatikan protokol kesehatan pencegahan wabah Covid-19.
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengatakan, pemerintah harus memberikan perhatian serius terhadap dunia pendidikan di era new normal. Khususnya, pendidikan pesantren.
"Ini harus mendapat prioritas karena berkaitan dengan peningkatan SDM," terang dia kepada Jawa Pos (JPG), kemarin. Jika tidak mendapat perhatian khusus, maka dikhawatirkan akan terjadi lost generation, generasi yang hilang karena terdampak pandemi Covid-19.
Pemerintah jangan hanya berpikir tentang sistem keuangan dan penyelamatan ekonomi saja. Soal ekonomi memang penting, tapi pendidikan juga tidak kalah pentingnya. Untuk itu, kata dia, pemerintah tidak boleh mengabaikan pendidikan. Dalam segi penganggaran, pemerintah juga harus menyiapkan pendidikan yang cukup. Menurut dia, anggaran Rp2,3 triliun untuk pendidikan pesantren jelas masih sangat kurang.
Apalagi, lanjut Jazilul, anggaran Rp 2,3 triliun diperuntukkan untuk pesantren dan lembaga keagamaan Islam lainnya.
"Untuk pesantren saja tidak cukup, apalagi dipakai untuk lembaga lainnya, jelas tidak ada gunanya anggaran segitu," papar Wakil Ketua Umum DPP PKB itu.
Anggota Komisi III itu mengatakan, jumlah pesantren di Indonesia sekitar 28 ribu. Itu belum termasuk lembaga pendidikan keagamaan Islam yang lain. Maka, lanjut dia, pemerintah harus menambah anggaran untuk pembelajaran di era new normal itu. Legislator asal Dapil Jatim X itu mengatakan, tidak semua pembelajaran bisa dengan virtual. Apalagi, pembelajaran di pesantren yang berlangsung 24 jam. Jadi, pembelajaran virtual jelas tidak efektif.
"Apalagi konsep pendidikan virtual juga tidak jelas," papar Jazilul. Sampai sekarang belum ada yang bisa mengukur efektivitas pembelajaran daring.(wan/lum/jpg)