BERALIH DARI MELON, KINI KEWALAHAN LAYANI PERMINTAAN

Sukses dari Bertani Labu Madu

Pekanbaru | Senin, 15 April 2019 - 11:51 WIB

TENAYAN RAYA (RIAUPOS.CO) -- DI sebuah kebun labu seluas 0,25 hektar terhampar di depan sebuah rumah sederhana di salah satu gang di Jalan Seroja, Kecamatan, Tenayan Raya. Dua pria sedang duduk bersantai di kursi kayu siang itu,  Jumat (12/4).

Di atas meja, terdapat sebuah labu dengan berat kira-kira 1,5 kilogram (kg).Berbeda dari labu pada umumnya yang berbentuk bulat, labu ini berbentuk lonjong dengan bagian bawah lebih besar daripada bagian atas. Sekilas labu ini memiliki bentuk seperti gitar spanyol.

Labu ini adalah labu madu atau disebut juga butternot pumpkin. Marketing dan Penyuplai Benih, Mandar Putra (35) mengaku, memulai usaha labu madu ini bersama petani melon sejak 2015 lalu. Ia mengatakan, awalnya ia hanya iseng mencoba peruntungan dari buah sayur berwarna oranye ini.
Baca Juga :Drainase Pasar Induk Harus Segera Dibangun

Siapa sangka, keisengannya ini mengantarkan Putra dan para petani yang banting setir dari petani melon menjadi petani labu, untuk dapat memiliki produk berkualitas yang sudah dikirim sampai luar Sumatera, bahkan dilirik oleh importir-importir luar negeri.

“Awalnya iseng-iseng. Saya gak tahu market. Ada mentor di Jawa Tengah, bilang ke saya. Tanam saja dulu karena barang menyertai market. Awalnya promo ke teman-teman lewat sosmed juga. Trus di Pekanbaru dan Sumatera Utara. Sebelum akhirnya ke Pulau Jawa atau di Jabodetabek,” kata Putra.

Ia melihat peluang besar dari bisnis labu ini karena dulunya ia juga seorang petani melon. Bapak satu anak ini menyadari jika bertani melon bukanlah hal yang gampang, melihat begitu banyak persaingan yang menyebabkan pemasaran mendapati sulit. Belum lagi bertani melon memiliki risiko yang lebih tinggi ketimbang bertani labu.

Putra yang merupakan lulusan SMEA ini melihat Riau memiliki potensi tak hanya sawit tetapi juga berpotensi untuk ditanami labu. Cuaca yang panas dan iklim yang stabil menjadikan labu yang di tanam di daerah Riau sebagai produk terbaik di antara kebun-kebun labu di kota lain.

“Kalau di Jawa itu kan dua musim, panas sama hujan. Kalau di Riau berimbang pasti ada hujan meski pun musim panas, juga sebaliknya,” tutur Putra.

Putra mengatakan tidak memiliki lahan untuk berkebun labu, untuk itu ia menggandeng para petani yang benar-benar konsisten untuk bertani labu. Ia menyediakan bibit terbaik yang diimpor dari luar negeri. Kemudian memberikan bibit kepada para petani, sehingga petani hanya fokus pada penanaman sedangkan ia fokus pada pemasaran. “Jadi petani-petani ini fokus aja ke penanaman, masalah penjualan biar saya yang pikirkan,” tuturnya.

Harga jual per kilogram untuk labu madu tersebut adalah Rp25 ribu. Menurut Putra harga tersebut sebanding dengan kualitas labu yang ditawarkan. Belum lagi harga bibit per butirnya seharga Rp 2.500, dalam satu kantong terdapat 100 butir bibit siap tanam. “Serat labu ini lebih halus dari labu biasa, lebih manis juga. Bagus untuk makanan pendamping ASI. Bagus juga untuk kulit dan pengganti nasi,” katanya lagi.

Dengan berbisnis labu ini, Putra menggandeng 20 petani labu di Riau dan ratusan petani labu dari Jabodetabek. Dalam setiap bulannya ia bisa menghasilkan 30 ton labu, sehingga mampu mengirimkan labu hingga ke luar daerah. “Dulu kita Pekanbaru beli dari luar, sekarang kita yang jual ke luar,” kata Putra.

Putra bercerita kendala utama dalam bertani labu adalah perubahan iklim yang tak menentu. Selain itu tidak ada kendala yang berarti karena harga labu relatif stabil. Putra menuturkan, ia tak pernah mendapatkan pelatihan terkait pertanian. Ia hanya belajar ketika masih di SMEA dulu, hobinya membaca buku sedikit banyak membantunya untuk mengejar cita-cita. “Saya suka baca buku tentang ekonomi, beli di toko buku. Dari situlah saya terinspirasi untuk pertanian labu ini,” ujarnya.

Putra mengatakan jika permintaan labu madu tersebut juga banyak dari luar negeri, seperti Singapur, Filipina, Brunei Darussalam dan Korea. Hanya saja untuk ekspor ia masih terkendala dengan produksi. Jumlah labu yang didapat tak mencukupi untuk ekspor ke negara-negara tersebut. “Korea sudah sepakat tapi barang gak ada. Orang Inggris yang berdomisili di Sanur, Bali meminta 24 ton per hari. Kami ga sanggup,” katanya lagi.

Putra berharap para petani bisa sukses dan budidaya juga semakin sukses. Dengan demikian rumah tangga petani juga sukses. Ia tak menampik keinginannya untuk bisa mengekspor labu hingga keluar negeri tetapi ia mengkhawatirkan jumlah produksi yang tak mencapai. “Diejek juga sama teman-teman. Kalau sudah MoU, kita gak boleh main-main. Suplai harus ada. Ini lagi kami pelajari untuk mengentaskan masalah iklim ini,” ucapnya.(*2)

(Laporan MARRIO KISAZ, Tenayan Raya)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook