PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Sejumlah warga Pantai Raja didampingi kuasa hukum, Walhi Riau dan Jikalahari mendatangi Riau Pos, Kamis (13/10). Warga yang hadir, diwakili oleh salah satu yang dituakan, Subari (65), mencurahkan isi hati (curhat) di hadapan Direktur Riau Pos, Firman Agus.
Pada pertemuan di ruang rapat redaksi Riau Pos Lantai 3 Gedung Graha Pena Riau tersebut, Subari bercerita bagaimana dirinya dan 150-an Kepala Keluarga (KK) lainnya memperjuangkan hak mereka atas 150 hektare (Ha) tanah di Desa Pantai Raja, Kecamatan Perhentian Raja, Kampar. Sebuah perjuangan yang bukan satu atau dua tahun, tapi sudah tiga generasi. Tapi hasilnya masih nihil.
Subari bercerita, perjuangan menuntut hak atas tanah itu bermula ketika tahun 1975 silam. Waktu itu dirinya membuka kebun tidak jauh dari di Desa Pantai Raja saat ini. Pada masa hewan buas seperti harimau dan beruang masih banyak, dirinya membuka hutan hujan lebat itu dengan modal kapak.
Pria yang kini dikaruniai 9 cucu tersebut berhasil menanam pohon karet seluas 4 ha. Namun malang nasibnya pada 1984 perusahaan datang membawa dokumen pemerintah. Karet yang sudah layak sadap itupun ditebang tanpa ada ganti rugi. Kondisi ini dialami lebih dari 150-an KK lainnya saat itu. Hingga kini ketika cucunya sudah bekerja, hak tanah ulayat itupun tak kunjung didapatkan.
"Sejak saat itu jangankan bangkit, tanah untuk memulai lagi menanam karet dari nol pun tidak. Kami miskin, anak-anak kami, generasi kedua dari perjuangan ini banyak yang putus sekolah," ungkapnya sambil tersenyum pahit.
Tapi mereka terus berusaha mendapatkan hak mereka kembali, setidaknya ganti rugi. Karena kampung pertama warga desa tersebut, beserta kuburan nenek moyang mereka, kini berada di kawasan inti perusahaan.
Upaya itu, menurut warga lainnya, Gusdianto, nyaris membuahkan hasil ketika perusahaan tersebut mengakui dan akan mengembalikan lahan seluas 150 Ha kepada warga. Warga dijanjikan dengan pola KKPA yang sempat ditolak. Namun ternyata janji tinggallah janji.
Bahkan aksi damai dengan menduduki sebagian lahan perusahaan berbuntut ke meja hijau yang dialami 14 perwakilan warga. Hal itu berujung pada pembatalan kesepakatan tahun 1999 yang secara teknis tidak pernah terlaksana itu.
"Sudah generasi ketiga masyarakat memperjuangkan ini sejak 1984, perusahaan mengambil lebih kurang 1.000 Ha. Sementara tanah warga yang terdampak, kebun karet, durian dan lainnya dibabat tanpa ada negosiasi. Hanya Desa Pantai Raja yabg tidak dapat pola KKPA," kata Gusdianto.
Kini perwakilan warga yang dibentuk sejak 2016 yang dimotori Gusdianto tidak sendiri lagi bergerak. Jikalahari dan Walhi Riau kini ikut bergabung memperjuangkan warga Pantai Raja yang sudah tiga generasi merasa dizalimi.
Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setyo yang turut hadir ke Riau Pos kemarin memastikan, perjuangan ini akan terus berlanjut hingga warga mendapatkan haknya. Bahkan pihaknya sudah mempersiapkan aksi dalam waktu dekat.
"Kami akan bawa seluruh 157 KK ini ke Jakarta untuk menemui Mentri ATR," ungkapnya.
Okto meyakini, mendatangi Riau Pos akan memberikan dinamika dalam perjuangan masyarakat Pantai Raja. Riau Pos menurutnya masih barometer utama informasi di Provinsi Riau.
"Kami kira orang Riau semua sudah tahu Riau Pos, sudah pernah baca. Kami percaya, Riau Pos masih menjadi barometer, kalau di Riau pasti Riau Pos yang kita temui," ungkap Okto.
Pada kesempatan itu Okto, Perwakilan Walhi Riau, Gusdianto dan perwakilan masyarakat menyerahkan sejumlah berkas kepada Direktur Riau Pos Firman Agus. Berkas itu merupakan jejak perjuangan dan sejumlah bukti otentik proses perjuangan mereka selama tiga generasi tersebut.(end)