PEKANBARU (RIAUPO.CO) -- Sepanjang 2019, kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Pekanbaru tercacat sebanyak 65 kasus. Data tersebut didapat dari Unit Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak (P2A), Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak yang sebelumnya bernama Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Dari 65 kasus tersebut, pencabulan paling mendominasi yaitu sebanyak 23 kasus. Konselor P2A, Herlia Santi pun mengatakan rincian kasus lainnya. Katanya, kekerasan dalam rumah tangga sebanyak delapan kasus, kekerasan terhadap anak tujuh kasus, penelantaran dua kasus, hak anak 10 kasus, hak asuh anak satu kasus, anak berhadapan dengan hukum sembilan kasus, saksi pencabulan satu kasus dan kekerasan berbasis gender empat kasus.
‘’Kasus kenakalan anak sepanjang 2019 tidak ada masuk,’’ jelasnya.
Lalu, untuk anak yang terkena kekerasan seksual, faktornya lebih pada lingkungan, teknologi dan pola pengasuhan. ‘’Kekerasan seksual yang masuk di sini (P2A) sejak 2014 hingga sekarang semuanya dilakukan oleh orang terdekat, kecuali pada 2016 ada satu kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal,’’ tuturnya.
Sementara, untuk kasus KDRT ada empat jenis yaitu fisik, psikis, ekonomi dan penelantaran. KDRT yang menimpa orang dewasa terutama istri kebanyakan lebih kepada penelantaran, tidak pulang-pulang, suami selingkuh, sehingga suami abai tidak menafkahi istri dan berakhir pada pemukulan.
‘’Bahkan ada yang dipukul secara menyiksa hingga dirawat di rumah sakit lalu diceraikan. Sementara untuk KDRT anak lebih kepada penelantaran atau diabaikan oleh orangtuanya,’’ imbuhnya.
Kendala yang terjadi di lapangan dikatakannya, lebih pada teknis misalnya pemanggilan pelaku, karena mesti dimediasi terlebih dahulu dan juga kekurangan orang, sehingga harus bekerja ekstra sampai penyelesaian hukum. Santi mengimbau agar warga Pekanbaru yang mengalami kekerasan untuk melapor ke P2A.
‘’Untuk konseling di P2A itu gratis, dengan mengagendakan terlebih dahulu. Terpenting tidak mengganggu proses belajar anak. Untuk kasus anak sebagai korban KDRT, dipukul, korban di sekolah (dianiaya atau dibuli) lebih didampingi dari sisi psikologisnya. Untuk fisik sampai saat ini belum ada, biasanya mereka pergi ke dokter dahulu atau rumah sakit,’’ terangnya.(*3/rnl)