PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Beberapa anak-anak muda sedang melempar joran ke tengah sungai. Sementara salah satu di antaranya tengah duduk bersantai menunggu umpannya disambar ikan. Tempat tersebut memang sebuah tempat pemancingan, didirikan di tepi Sungai Siak. Bangunan tersebut terbuat dari kayu beratapkan seng.
Angin sepoi-sepoi yang bertiup pagi itu menghebus rambut para pemancing ikan tersebut. Sesekali menarik jorannya dan menemukan umpan tak dimakan oleh ikan, ada pula yang menarik joran dan mendapati umpan telah habis sementara tak satu ekor pun yang tertangkap.
Beberapa kali segerombolan kiambang lewat di depan Taman Pancing Hutan Rezeki tersebut. Tak pernah absen sampah-sampah plastik rumah tangga lewat ikut terbawa arus sungai.
Salah seorang pemancing, Iqbal mengatakan, jika ia cukup kerap memancing di tempat tersebut. Baik untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya atau pun memuaskan hobinya. Dalam ember berwarna hitam di samping tempat Iqbal duduk, dua ekor ikan sudah ia dapatkan.
Iqbal mengatakan jika sedari tadi memancing baru mendapatkan dua ekor ikan. Bahkan tak jarang jika ia memancing ikan, namun ia hanya mendapati sampah di kail pancingnya. “Ini baru dapat ikan baung, paling sering ya dapat sampah, tapi emang hobi sih kalau memancing,” ujarnya.
Pemilik taman pancing, Hermon mengaku jika ikan-ikan yang ada sekarang tidak sebesar ikan-ikan yang didapatinya dulu. “Dulu gampang dapat yang besar-besar beratnya 12 kiloan, sekarang untung-untungan kalau dapat itu,” katanya.
Hal ini tak bisa dilepaskan dari semakin dangkalnya Sungai Siak tempat warga Senapelan dan Rumbai Pesisir menggantungkan hidup. Selain sungai yang semakin dangkal, sampah-sampah pun tak bisa dihindari lagi. Apa lagi ketika banjir melanda. “Sekarang ini, kita mancing yang dapat bukan ikan tapi sampah, harapnya agar pemerintah kota dan pemerintah provinsi bisa bersinergi lah untuk Sungai Siak ini,” pungkasnya.
Hermon bercerita, dulu sekitar dua tahun lalu dibentuk Forum Peduli Masyarakat Batang Siak (FPMBS) yang membersihkan sampah di Sungai Siak dengan menggunakan kapal. Forum ini didukung oleh pemerintah. Tapi kini, pemerintah tidak memedulikan lagi forum tersebut.
Karena biaya operasional FPMBS ini cukup besar, Hermon dan teman-temannya tak lagi sanggup untuk mengerjakan tugas di forum lagi.
“Dalam satu hari itu biaya operasional kapal sendiri Rp500 ribuan. Kami juga perlu uang untuk hidup, sehingga kami lebih memilih bekerja. Ada anggota saya sekitar 30 orang. Kalau memang pemerintah mau, kami siap bekerja seperti pasukan kuning,” ucap Hermon.
Hermon mengaku jika telah mengirimkan proposal agar forum tersebut dapat bekerja sesuai dengan tujuan forum itu dibuat. Ia menawarkan sebuah pilihan kepada pemerintah, jika pemerintah memberikan bantuan untuk kebersihan Sungai Siak maka maksimal dalam waktu tiga bulan, Sungai Siak dipastikan akan bebas dari sampah. Kendati demikian, Hermon mengaku jika usahanya tersebut tak mendapatkan respondari pemerintah.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan dan Kehutanan Provinsi Riau Ervin Rizaldi mengatakan, tidak ada anggaran khusus untuk FPMBS. Jika masyarakat menginginkan hal tersebut, maka harus mengajukan terlebih dahulu ke camat setempat, setelah itu dibawa ke musyawarah rencana pembangunan (musrenbang).
“Kalau anggaran aku tak berani ngomong, mekanisme anggaran yang jadi masalah. Persetujuannya itu di Bappeda. Selagi tidak masuk ke musrenbang, itu tak akan bisa cair duitnya. Teriak dulu ke camat, baru nanti dibawa ke musrembang. Kalau anggaran itu tahun ini memang tidak ada. Karena sudah ketok palu,” pungkas Ervin.(*2)