Bayar Rp150 Ribu, Catin Wajib Ikuti Kursus BP4

Pekanbaru | Senin, 03 Februari 2020 - 11:04 WIB

Bayar Rp150 Ribu, Catin Wajib Ikuti Kursus BP4
IKUTI KURSUS: Calon pengantin saat mengikuti kursus atau pelatihan pranikah di BP4 Kota Pekanbaru, beberapa hari lalu.( SOFIAH/RIAU POS )

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Pernikahan menjadi dambaan bagi setiap insan. Untuk bisa melangkah ke jenjang yang lebih serius, calon pengantin (catin)  pun harus melakukan bermacam administrasi, seperti mengikuti kursus pranikah. Di Pekanbaru khususnya catin bisa mengikuti kursus tersebut, di Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kota Pekanbaru.

Setiap catin wajib mengikuti keseluruhan materi selama dua hari penuh. Untuk waktu pelaksanaan diadakan pada setiap Sabtu sampai Ahad pukul 07.00 WIB hingga 14.30 WIB. Sedangkan pada Selasa sampai Rabu pukul 08.30 WIB hingga 16.00 WIB.


Syarat pendaftaran di antaranya mengisi formulir BP4 Kota Pekanbaru, fotokopi KTP menggunakan kertas A4 satu lembar dan pas poto 3x4 sebanyak dua lembar serta membayar uang pendaftaran Rp150 ribu per catin.

Materi yang didapat dari kursus atau pelatihan pranikah diantaranya kebijakan Pemerintah dan UU perkawinan, psikologi keluarga dan perkawinan, kesehatan reproduksi dan gizi keluarga, Islamic parenting education, mewujudkan keluarga sakinah, fungsi keluarga dan kesehatan mental, fiqh munakahat satu sampai dua serta pretest dan postest.

Dikatakan psikolog BP4 Kota Pekanbaru Tukiman Khateni mengatakan, usia matang pernikahan dijawab dengan psikologi murni dan psikologi Islam. Menurutnya, usia matang pernikahan berdasarkan psikologi murni itu tidak memberi batasan, biasanya merujuk pada wilayah tertentu baik menurut undang-undang dan lainnya.

“Untuk di negara barat memberi batasan umur 18 tahun. Namun itu usia untuk siap menerima hubungan seksual. Mereka di barat tidak memedulikan halal dan haram. Bahkan mereka memiliki budaya membawa pasangannya ke rumah maupun apartemennya. Sementara untuk usia pernikahan, mereka melakukan diusia dewasa awal diperkirakan 24 tahun ke atas bagi perempuan. Sedangkan laki-laki 35 tahun ke atas,” ucapnya.

Dilanjutkannya, jika dituruti standar itu tentu tidak sampai pada budaya Indonesia. Pasti bertentangan dengan tradisi, agama dan sebagainya. Sehingga dipandang melalui psikologi Islam.

"dalam pandangan psikologi Islam, selama dia aqil baligh maka menikah lebih awal lebih baik. Biasanya berbenturan dengan budaya, nantikan kerjanya bagaimana, nantikan terlalu muda dan nantikan lainnya. Padahal itu hanya budaya saja,” sebutnya.

Lebih jauh, budaya tersebut berhubungan dengan lokus auto domain tertentu. Setiap masyarakat berbeda. Oleh karena itu, untuk urusan kultur budaya al arabiyah tidak dapat dijadikan pedoman, karena budaya Minang tidak sama dengan Jawa, Bugis dan seterusnya.

"sehingga kita memakai standar Islam, yaitu selama sudah akil balig dan sudah paham akan hak serta kewajiban maka kewajiban orangtua menikahkan. Lebih muda lebih baik, itu untuk menjaga fitnah. Sebab di Islam tidak ada pacaran dan seks sebelum nikah, gunanya menjaga kehormatan,"jelasnya.

Dengan demikian, harus dipahami bahwa usia pernikahan yang paling ideal adalah kematangan emosional dan dukungan keluarga. Selama matang emosional dan keluarga mendukung, boleh dilanjutkan pernikahan. Namun, salah satu syarat itu tidak terpenuhi tidak boleh dilakukan pernikahan.

Saat ditanya hal yang harus dihindari agar tidak terjadi perceraian dan tips keluarga bahagia, dijelaskannya bahwa satu hal yang perlu diketahui perceraian itu keniscayaan dalam sebuah pernikahan. Talak atau cerai itu pisah. Yang dulu tidak saling kenal disatukan dengan ijab dan qabul.

"Aapun yang menyebabkan perceraian itu banyak macamnya. Di antaranya, karena tidak saling percaya. Oleh karena itu bangunan pernikahan adalah keterbukaan kedua belah pihak," tegasnya.

Masih kata dosen psikolog UIR, keterbukaan pergaulan setelah menikah sangat diutamakan. Perkara-perkara sebelum menikah itu ditutup. Misalnya, suami punya aib, tutup. Begitu sebaliknya. Cukup dia dan Tuhan yang tau.Begitu pula saat memulai pernikahan maka mulailah dengan keterbukaan.

"Selanjutnya, kedua belah pihak harus paham agama dan bergabung dengan majelis ilmu," imbuhnya.

Perlu diingat, penyebab perceraian lainnya yaitu datangnya orang ketiga atau pelakor. "Sebetulnya pelakor itu istilah feminisme dari kalangan sosialis. Tak ada pelakor jika suaminya menikah dengan benar, begitu pula istrinya," tukasnya.

Kemudian, jika sudah menjalani rumah tangga, sempatkan ke majelis ilmu agar imannya kuat. Bagi yang mempunyai anak dibawa juga. Terakhir, mempunyai waktu khusus keluarga.(ksm)


Laporan:SOFIAH









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook