PULANGNYA HUTAN ADAT DI KAMPAR KE PANGKUAN MASYARAKAT

308 Komunitas Adat Riau Teridentifikasi

Pekanbaru | Senin, 02 Maret 2020 - 09:04 WIB

308 Komunitas Adat Riau Teridentifikasi
Tim Kerja Percepatan dan Penetapan Hutan Adat Kampar saat menggelar diskusi di Kafe Borobudur, Pekanbaru, beberapa waktu lalu. (Panji/Riau Pos)

Di antara berbagai macam kerumitan persoalan lingkungan, muncul sinergi antar komunitas membela tanah adat. Hasilnya maksimal dan sudah dirasakan.

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- KEHADIRAN Presiden RI Joko Widodo ke Riau pekan lalu menjadi pertanda baik. Ini bukan soal pujian belaka. Menurut Harry Oktavian, aktivis lingkungan yang tergabung dalam Tim Kerja Percepatan dan Penetapan Hutan Adat Kampar (TKP2HAK), Negara memberikan akses legal ke masyarakat untuk mengelola hutan berasas adat istiadat.


Hutan yang dimaksud berada di dua lokasi berbeda yang terletak di Kabupaten Kampar. Kini sudah diakui pemerintah legalitasnya. Yaitu Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan dengan luas 251 hektare dan Hutan Adat Kenegerian Kampa seluas 156,8 hektare. Untuk hutan adat Kenegerian Kampa ini terbagi dalam dua hamparan lagi. Masing-masing diberikan nama Ghimbo Lidah dan Ghimbo Pomuan. Pengakuan hutan adat di Kampar ini dibuktikan dengan sudah terbitnya surat keputusan dari pemerintah pusat.

"Ini menjadi catatan penting demi kelangsungan ekosistem dan sumber daya alam di Riau," kata Harry.

SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tentang penetapan hutan adat tersebut bahkan sudah diserahkan langsung kepada datuk yang mengelola hutan tersebut oleh Presiden Joko Widodo, pada 21 Februari lalu di Taman Hutan Raya, Kabupaten Siak.

"Biasanya diserahkan SK ini di Istana Negara. Ini karena Presiden sekalian datang, ya diserahkan," jelasnya.

Pengakuan yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat adat adalah melegalkan tanah wilayah hutan menjadi wilayah hutan adat yang nantinya akan dikelola masyarakat adat itu sendiri. Hal tersebut tentunya didorong dengan kajian mendalam dan keberadaan masyarakat adat di wilayah itu yang masih terjaga eksistensinya.

"Ini bukan soal pemberian izin. Ini soal pengakuan dari pemerintah," ujarnya.

Di mana aktivitas maupun pengelolaan di wilayah hutan adat tersebut nantinya harus menjunjung tinggi nilai-nilai adat, norma, dan aturan adat istiadat. Mereka bakal terlibat langsung dalam pemanfaatannya. Hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat masyarakat hukum adat dan bukan lagi hutan negara. Dikatakan Harry, ada lima macam legalitas pemerintah tentang pemanfaatan hutan. Yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan kemitraan, dan hutan adat.

"Nomor satu sampai empat untuk mendapatkannya adalah soal pemberian izin dari pemerintah ke rakyat. Itu masanya maksimal 35 tahun. Tapi kalau yang kelima, hutan adat ini adalah soal pengakuan," jelasnya.

TKP2HAK merupakan promotor penggerak yang mula-mula mengidentifikasi perihal itu. Mereka mendorong hal tersebut lewat pemerintah daerah yang kemudian sama-sama dikawal hingga ke kementerian. Skema hutan adat tersebut awalnya muncul karena ada peluang bagi masyarakat setempat. Kemudian hal tersebut lantas disambut para aktivis lingkungan yang menginisiasikan untuk berkolaborasi menjadi sebuah tim yang solid membela kepentingan rakyat.

"Tim ini tiga tahun lalu diinisiasi. Ada beberapa unsur seperti NGO, WRI, Bahtera Alam, Aman kampar, dan sebagainya. Di luar ini ada penyuluh pertanian dan hutan. Ada juga akademisi," katanya.

Mulanya, mereka melakukan identifikasi di wilayah Kampar. Mereka melihat bahwa Kampar punya sejarah baik tentang adat istiadat.

"Di Kampar juga ada perda tentang ulayat nomor 11 tahun 1999," ujarnya.

Dari proses identifikasi itulah, mereka melakukan pendekatan kepada masyarakat adat di berbagai kenegerian seperti di Petapahan, Kuok, Kampar, Rumbio, Batu Junjung dan sebagainya yang masih menjunjung adat istiadat. Lalu, merekapun mengajukan itu ke Bupati Kampar. Tepatnya di tahun 2017 akhir tentang identifikasi tersebut. Saat itu, orang nomor satu di Kampar dijabat Azis Zaenal (almarhum). Gayung pun bersambut. Kebetulan sosok almarhum merupakan tokoh adat alias datuk di Kenegrian Kampa. Sehingga wacana tersebut didorong sepenuh hati.

"Ditanggapi dan langsung direspons dengan sangat baik saat itu," ujar Harry.

Kabupaten Kampar setidaknya ada delapan kawasan yang masuk dalam kawasan hutan adat. Namun sejauh ini baru tujuh kawasan hutan adat yang sudah diajukan penerbitan SK-nya ke Kementerian LHK. Dari tujuh usulan SK hutan adat tersebut baru dua yang sudah diterbitkan pemerintah. Sedangkan yang lima usulan lagi masih terus berposes. Sebab ada beberapa hutan adat yang diusulkan SK nya itu berada di luar kawasan hutan. Sehingga diperlukan peraturan daerah yang mengatur soal penetapan kawasan hutan adat tersebut.

Memanfaatkan Ekosistem Hutan dengan Norma Adat

Dengan adanya pengakuan dari pemerintah pusat ini, maka masyarakat adat di wilayah tersebut dengan aman mengelola hutan untuk kesejahteraan ekonomi sesuai dengan norma-norma dan menjunjung tinggi nilai adat istiadat. TPK2HAK pascaini terus mendorong dan mendampingi masyarakat setempat untuk membuat rencana pengelolaannya. Menurut Harry, hutan adat tersebut punya banyak potensi lainnya yang perlu dikembangkan. Seperti untuk wisata alam dan pusat pendidikan lingkungan.

"Di hutan adat itu menjadi sumber benih pohon kulim yang kini semakin langka. Tepatnya di hutan adat Imbo Putuih. Itu merupakan potensi yang bisa dikembangkan," jelasnya.

Selain itu, wilayah hutan adat tersebut juga dirasa cocok sebagai tempat penitipan satwa liat yang menjadi barang bukti tangkapan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Riau dan kepolisian. Sebab, wilayah yang asri dan masih terjaga kelestariannya bisa menjadi solusi.

"Ini bisa jadi peluang baru kalau dijadikan pusat pendidikan. Jadi,  kita ke sana tidak hanya melihat hutan. Tapi melihat habitat satwa. Yang sumbernya dari kegiatan penegakan hukum BKSDA, dan kepolisian," jelas Redo, anggota TPK2HAK lainnya.

Selain itu juga, mereka yakin masyarakat adat mampu melakukan pengelolaan sumber daya alam dari hutan dengan baik.

"Kita tahu Riau sudah berubah jadi lautan sawit dan lautan akasia. Mereka (masyarakat adat, red) tahu caranya menjaga alam yang baik untuk kehidupan dan menjalankan ekonomi serta fungsi adat. Ini juga menjadi momentum yang baik untuk mewujudkan Riau Homeland of Melayu," kata Harry.

Tentunya dengan demikian, wilayah hutan adat nantinya menjadi sarana pertumbuhan ekonomi masyarakat adat itu sendiri. Diyakini, mereka bakal mampu mengelola itu dengan baik.

"Tentu ada pantangan dan ada hukum adat. Dalam konteks ini, hutan adat selain eksistensi, mereka percaya bahwa hutan memberi manfaat yang baik. Bahasa nasionalnya itu ikut menyumbang pengurangan emisi," katanya.

Riau Punya 308 Masyarakat Adat

Anggota Tim Asistensi Kemajuan Perlindungan Masyarakat Adat Riau (Tanjak), Elwamen menyampaikan bahwa Riau sebenarnya memiliki banyak masyarakat adat. Namun dalam pengakuan hutan adat baru ada dua yang diakui pemerintah. Dari hasil penelitian Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), sedikitnya ada 308 komunitas masyarakat adat yang ada di Bumi Lancang Kuning saat ini.

"Kita dan LAM Riau sudah mengidentifikasi komunitas adat di Riau. Totalnya ada 308 suku atau komunitas adat dari 12 kabupaten/kota di Riau. Ini mungkin akan terus bertambah," katanya.

Tanjak sendiri merupakan inisiasi dan elaborasi dari berbagai unsur untuk skala Riau. Mereka concern menelisik keberadaan adat budaya dan masyarakatnya yang berada di Riau.

"Di sini juga beragam, kalau di Kampar tadi ada TPK2HAK, untuk skala Riau-nya ada Tanjak," jelas Alwamen.

Mereka juga sudah beberapa kali mengadakan workshop untuk pengumpulan identifikasi tadi. Tujuannya agar bagaimana masyarakat adat dan wilayah adatnya di Riau saat ini teridentifikasi. Saat ini, Tanjak sedang mengusulkan untuk pembuatan perda perihal tersebut. Dalam waktu dekat, mereka berupaya mengagendakan seminar dan lokakarya (semiloka) yang membahas tentang keadaan dan keberadaan masyarakat adat tersebut.

"Setelah ini akan kami adakan semiloka. Karena kesiapan biro hukum Kemendagri, KLHK, Dirjen PSKL belum bisa hadir maka tertunda. Beliau minta di Maret, dalam waktu dekat kami akan adakan itu. Tujuannya agar masyarakat adat ini diakui, dan ending-nya adalah perda," ungkapnya.

Adapaun tujuan mereka mengupayakan itu semua agar masyarakat adat terpencil yang sudah terdapat dapat sejahtera.

"Kami ingin bagaimana anak kemanakan kita (masyarakat adat, red) di daerah bisa diayomi dan terlindungi, agar bisa sejahtera," pungkasnya.(*1)

Laporan EKA G PUTRA, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook