“Selama belum ada aturan turunannya yang mengatur teknis pelaksanaan pemberatan hukuman di UU baru, aparat hukum tetap mengacu UU 35/2014,” jelas Iip.
Karena itu, tindaklanjut aturan turunan dari UU PA yang baru menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Misalnya ketika hukuman kebiri diterapkan, maka harus jelas siapa eksekutornya, bagaimana teknisnya.
“Memang sekarang ada aturan pengkebirian bagi predator seksual, tapi kan aturan teknisnya belum ada. Siapa yang eksekusi, kan masih abu-abu,” tegasnya.
Perlu Ditangani Serius
Gubernur Riau (Gubri) H Arsyadjuliandi Rachman menilai komitmen Pemprov Riau menanggulangi, mengurangi angka kekerasan terhadap anak menjadi sebuah hal yang harus dioptimalkan. Diakui Gubri, Riau tak bisa lepas dengan kementerian terkait dalam hal penanganan dan pencegahan ke depan.
“Mulai tingkat paling rendah, mulai RT, RW, lurah, camat hingga kabupaten/kota tak boleh berhenti mencegah. Harus terus dorong untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak itu,” ungkapnya.
Diakui Gubri, pertumbuhan penduduk meningkat tentu kasus-kasus terus bertambah. Secara psikologis, lanjutnya tentu ada persoalan-persoalan yang dihadapi. Karenanya Pemprov tegas pria yang akrab disapa Andi Rachman tersebut akan terus melakukan pembinaan.
Data sementara kasus yang sudah ditangani Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) Dinas Sosial Riau berdasarkan informasi yang diterima Riau Pos dari Kadinsos Riau Syarifuddin. Dari Januari sampai Juni 2017 adalah anak berhadapan hukum (ABH) sejumlah 34 kasus. Kemudian anak terlantar 15 kasus. Anak jalanan 28 kasus. Kemudian anak dengan kecacatan 10, anak dengan kebutuhan khusus 12. Berdasarkan hasil Assesment Sakti Peksos selama di lapangan permasalahan kasus anak disebabkan oleh beberapa hal.
“Mulai pola asuh dalam keluarga yang salah dikarenakan tingkat pendidikan orangtua yag rendah. Orangtua sibuk bekerja sehingga anak terlantar dan kurang kasih sayang,” ungkapnya.