Menurutnya, selalu ditanyakan kepadanya, mengapa memilih kemelayuan sebagai tapak kreatif yang dia jawab bahwa pada awalnya, tidak pernah memikirkan soal itu. Cuma saja, dia hanya ingin jujur mengatakan sesuatu yang pasti dengan sendirinya berbicara berdasarkan pengalaman dan pengetahuan. Sampai kemudian orang mengatakan bahwa karyanya bernuansa Melayu yang kembali diterokanya dengan pendekatan luaran, sehingga makin "suburlah" pengalaman dan pengetahuan tersebut. Dalam penerokaan itu, ia dihadapkan dengan subjek tapak kreativitas itu sendiri yakni kemelayuan. Maka jadilah kemelayuan di dalam dirinya sebagai sesuatu yang dialami dan dipelajari. Hal ini disambut oleh kesadaran kreatif generasi 70-an yang masih menderas pada masa awal kreatif TIJ menapaki jenjang perguruan tinggi bahwa kita bukan pewaris kebudayaan dunia, tetapi mewariskan kebudayaan kepada dunia. Ketika memasuki Pekanbaru, datang dari Telukbelitung melalui Bengkalis, daerah ini pas sedang sibuk menancapkan dirinya kembali sebagai bumi Melayu yang tentu saja menjadi lahan subur bagi sikap mewariskan itu tadi.
Tidak heran, kalau kemudian dia bergaul dengan sosok-sosok yang juga berada pada jalur serupa semacam Rida K Liamsi, UU Hamidy, Tabrani Rab, Suwardi MS. Khususnya lagi Hasan Junus, Al azhar, Yusmar Yusuf, dan Said Suhil Ahmad. Malahan tanpa ragu dia mengatakan bahwa Rida K Liamsi adalah guru di bidang jurnalistik, Hasan Junus guru sastra, dan UU Hamidy pembangkit semangat yang tangguh.
"Saya juga memiliki seorang kritikus andal yang hampir pasti pembaca atau pendengar pertama karya saya, yakni istri saya Umi Kalsum. Dengan latar belakang eksakta, sedangan saya pada tataran humaniora, saya yakin bahwa tanggapannya dapat menyeimbangkan pandangan saya terhadap suatu objek untuk dibentang di muka umum. Setidak-tidaknya, jika ia dapat menangkap pesan yang hendak saya sampaikan melalui simbol, apatah lagi kalau orang sosial. Bukankah pada hakikatnya, saya menulis untuk dipahami orang, bukan untuk menyulit-nyulitkan suatu hal," katanya.(sol)