PERKETAT PROKES UNTUK ANTISIPASI GELOMBANG KETIGA

Waspadai PCR Palsu

Nasional | Jumat, 29 Oktober 2021 - 10:10 WIB

Waspadai PCR Palsu
Petugas melakukan swab kepada warga di Pekanbaru, beberapa waktu lalu. Pemerintah telah menurunkan harga PCR dari Rp500 ribu menjadi Rp300 ribu. (DOK.RIAUPOS.CO)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kebijakan PCR terus mendapat sorotan dari publik maupun legislatif. Anggota Komisi V DPR Suryadi Jaya Purnama menilai bahwa rencana pemerintah menerapkan kewajiban PCR ke semua moda transportasi akan semakin memberatkan masyarakat.

Suryadi menegaskan, jika memang tidak ingin peningkatan kasus terjadi kembali, maka yang harus digenjot adalah penyediaan vaksinnya. Namun, ia menyadari keterbatasan pemerintah dalam kecepatan vaksinasi. 


"Sehingga untuk menghindari gelombang ketiga pilihan paling baik saat ini adalah menegakkan prokes secara ketat dan tracing yang kuat, bukan dengan melakukan PCR terhadap sembarang orang," jelas Suryadi.

Dia pun menilai kewajiban PCR semua moda transportasi tidak rasional untuk beberapa jenis moda. Misalnya KRL. Harga PCR jauh lebih mahal, bahkan mencapai seratus kali lipat ketimbang tarif KRL-nya sendiri.  "Jika semua harus PCR, maka PKS minta PCR digratiskan menggunakan subsidi dari BPJS Kesehatan," lanjut politikus PKS tersebut.

Ketua MPR Bambang Soesatyo ikut bersuara soal pemberlakukan PCR untuk semua moda transportasi. Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan secara matang kondisi perkembangan ekonomi rakyat dan kesiapan moda transportasi yang ada.

"Pemerintah harus menetapkan harga tes PCR yang terjangkau dan tidak memberatkan masyarakat," katanya.

Harga PCR yang ditetapkan pemerintah dinilai masih memberatkan masyarakat. Sebab, kondisi perekonomian masyarakat belum normal dan masih dalam tekanan. Jangan sampai masyarakat terbebani dengan harga tes tersebut. Apalagi tes PCR diterapkan seluruh moda transportasi.

Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo juga meminta pemerintah mengantisipasi adanya calo atau pihak-pihak yang memalsukan hasil tes PCR. Jangan karena PCR diterapkan untuk semua transportasi, kemudian muncul banyak hasil tes PCR palsu.

"Pemerintah harus memikirkan persoalan itu," tegasnya.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menghimbau masyarakat agar tidak tergoda dengan bujukan para calo. Masyarakat harus melakukan tes dengan benar, sehingga hasilnya dapat disinkronisasikan dengan aplikasi PeduliLindungi. "Aplikasi PeduliLindungi harus digunakan secara maksimal," bebernya.

Selain itu, lanjut mantan Ketua Komisi III itu, pemerintah perlu membenahi sistem di aplikasi PeduliLindungi agar ramah akses di gadget yang dimiliki oleh masyarakat. Pemerintah juga perlu memperhatikan masyarakat yang tidak memiliki gadget, agar bisa mengurus semua keperluan perjalanan secara manual. 

Ketatnya syarat perjalanan pada moda transportasi udara ini ternyata berbanding terbalik dengan moda darat seperti bus dan travel. Tak ada kewajiban menunjukkan hasil tes negatif Covid-19 untuk bisa melakukan perjalanan dengan moda tersebut. Seperti diungkap salah satu penumpang travel dari Bandung-Jakarta, Tasha Nabilla. Dia mengaku tak ada persyaratan apapun yang diberikan oleh pihak travel. "Gak ditanya apapun (vaksin, red). Gak pake tes apapun, naik biasa," ungkapnya.

Kondisi ini, kata dia, tentu sangat menyenangkan bila dilihat dari perspektif penumpang. Praktis. Terlebih, saat ini penumpang travel masih relatif sedikit. Namun, dia tak menampik bila kebiasaan ini terus dibiarkan akan berbahaya untuk jangka panjang. Apalagi, pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Sehingga, tetap perlu skrining. Minimal, check in PeduliLindungi untuk memastikan penumpang sudah divaksin. 

"Barulah buat yang belum vaksin, diberlakukan syarat tes kalau perlu," tuturnya. 

Kalaupun ingin tetap diberlakukan tes Covid-19, minimal disiapkan tempat untuk tes di lokasi seperti stasiun. 

"Prinsipnya jangan mempersulit, tapi jangan terlalu longgar. Karena, karakter masyarakat kita rentan gak disiplin," sambungnya. 

Terpisah, Ahli Epidemiologi Masdalina Pane pun tak sepakat dengan ketentuan wajib PCR bagi pelaku perjalanan. Apalagi, bila tujuannya menekan mobilisasi jelang nataru. "Tidak tepat itu. Karena kepentingan mobilisasi gak terkait jenis tes," katanya. Pengguna moda pesawat udara bukan dari kelompok ekonomi rendah. Sehingga PCR tak jadi masalah. Kemudian, menengah ke bawah, bisa  berpindah ke kereta api, bus, atau moda lain yang menggunakan antigen. 

Dia mengingatkan, bahwa risiko penularan bisa terjadi di mana saja. Tak hanya pesawat yang saat ini sangat diperketat syarat perjalanannya. Yang sebetulnya malah paling aman karena ada heap filter dan waktu perjalanan singkat. Sementara, moda lain yang cenderung memakan waktu perjalan lebih lama cukup hanya tes Antigen saja. 

Belum lagi, para pelaku usaha, sopir truk, sopir bus dan lainnya tes Covid-19 bisa berlaku sampai 14 hari. Hal ini membuat makna tes bagi pelaku perjalanan seolah tak ada artinya.

Menurutnya, yang justru berbahaya saat ini bila promosi memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir (3M) kendor. Bahkan, tergantikan dengan promosi jika PCR maka kapasitas boleh penuh. "Itu lebih berbahaya kalau apa yang di promote untuk 3M hilang," tegasnya. 

Selain itu, lanjut dia, tes PCR untuk perjalanan harusnya hanya diprioritaskan untuk pelaku perjalanan luar negeri. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan masuknya varian baru ke Tanah Air. Dengan PCR, maka bisa cepat diketahui seseorang positif atau tidak. 

Meskipun terus dihujani penolakan. Pemerintah tidak bergeming. Ditanya soal keberatan masyarakat tentang harga dan durasi waktu tes PCR, Jubir Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan bahwa tes PCR di transportasi udara adalah bentuk upaya berhati-hati di tengah aktivitas masyarakat yang mulai produktif.  "Untuk itulah perjalanan jarak jauh dengan moda transportasi udara menetapkan kewajiban testing PCR yang diakui menjadi metode testing paling sensitif," kata Wiku kemarin. 

Bahkan menurut Wiku, implementasi penerapan kebijakan (tes PCR) di moda transportasi udara ini akan dianalisis sebagai masukan dalam pengaturan mobilitas kedepannya. 

"Namun untuk saat ini peraturan yang berlaku baik untuk perjalanan jauh maupun harian (komuter) dapat mengacu pada SE Satgas Nomor 21 tahun 2021 beserta adendumnya," jelas Wiku.  

Wiku mengatakan, selama ini tes PCR masih memerlukan waktu cukup lama.  Maksimal memakan waktu 1x24 jam. Hal tersebut dikarenakan proses pengambilan sampel, distribusi ke laboratorium sampai tahapan ekstraksi dan perbanyakan materi genetik untuk mengetahui CT value-nya. 

Perbedaan durasi keluarnya hasil diagnostik  PCR, kata Wiku, dapat dipengaruhi oleh proses pengambilan sampel, maupun antrian orang yang dites. Sehingga ada tes yang bisa keluar lebih lama. 

"Tapi juga tidak menutup kemungkinan hasil tes dapat keluar lebih cepat. Saya mohon agar seluruh masyarakat bisa mematuhi aturan mobilitas ini," kata Wiku. Selain itu, ia meminta Lab diagnostik PCR Covid-19 dapat mendukung kegiatan masyarakat dengan mengoptimalkan operasional laboratorium dengan sumber daya yang memadai dan berkualitas.

Terpisah, pihak Kementerian justru saling oper saat diminta konfirmasi mengenai wewenang izin impor alat test PCR. Direktur Industri Permesinan Kementerian Perindustrian Herman Supriadi mengatakan bahwa segala izin impor seharusnya dipegang oleh Kementerian Perdagangan, termasuk izin impor alat tes PCR. (deb/lum/mia/tau/agf/lyn/ted)

 

Laporan JPG, Jakarta









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook